SPAM Simpang Tiga Rawang: Manifesto Kemanusiaan di Ujung Pipa Air Bersih

 

Dalam pusaran modernitas yang kian deras, akses terhadap air bersih tidak dapat lagi dipandang sebagai kemewahan ekologis, melainkan telah menjelma menjadi hak ontologis setiap insan. Di titik inilah, Proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di kawasan Simpang Tiga Rawang hadir bukan sekadar sebagai aktivitas konstruksi, melainkan sebagai pernyataan kolektif sebuah bangsa dalam menunaikan tanggung jawab peradabannya.


Pembangunan ini merupakan artikulasi nyata dari negara yang tidak abai terhadap suara sunyi rakyatnya, suara yang selama ini barangkali tersembunyi di balik statistik dan laporan teknokratik. 


Ia adalah jawaban konkret atas kebutuhan mendasar: air bersih sebagai prasyarat kehidupan yang layak, sebagai sumber segala eksistensi sebagaimana telah disiratkan oleh Thales, filsuf pra-Sokrates, bahwa “air adalah prinsip pertama dari segala sesuatu.”


Lebih dari sekadar proyek infrastruktur, SPAM Simpang Tiga Rawang menggambarkan etos pembangunan yang etis dan berkeadilan. Dalam pelaksanaannya, integritas bukan hanya jargon administratif, melainkan dijadikan sebagai asas moral yang menuntun setiap tindakan. Pendampingan aktif oleh Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum menegaskan bahwa transparansi dan akuntabilitas tidak boleh dikesampingkan dalam urusan publik karena pembangunan tanpa pengawasan adalah medan subur bagi deviasi nilai.


Direktur pelaksana dari CV. Rafka Berkah menegaskan bahwa pekerjaan dilaksanakan dengan ketelitian metodologis dan kehati-hatian teknis, sesuai dengan spesifikasi yang telah dirumuskan secara ilmiah dan normatif. Ia meyakinkan publik bahwa pengawasan internal dan eksternal dijalankan secara sinergis, agar mutu hasil pembangunan tidak hanya dapat diuji secara teknis, tetapi juga secara moral dan sosial. Sebuah pernyataan yang mencerminkan bahwa tanggung jawab profesional tidak terlepas dari panggilan etis untuk melayani kemaslahatan masyarakat.


Sementara itu, resonansi harapan terpancar dari masyarakat lokal. Hengki, salah satu warga Simpang Tiga Rawang, menyampaikan apresiasinya dengan bahasa yang sarat harap: bahwa suatu hari kelak, PDAM akan mampu menyalurkan air bersih secara konsisten dan bermutu, sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupan yang lebih sehat, layak, dan bermartabat.


Menariknya, pihak pelaksana tak berhenti pada pemenuhan kontrak fisik semata. Mereka mengambil satu langkah maju dengan memberikan sambungan air gratis bagi masyarakat sekitar lokasi proyek. Ini bukan hanya tindakan filantropis, melainkan gestur sosiologis yang menunjukkan bahwa pembangunan sejati adalah yang membebaskan, bukan membebani; yang menyentuh keadilan, bukan sekadar pencapaian target.


Maka, SPAM Simpang Tiga Rawang bukan sekadar simbol dari pembangunan material, tetapi sekaligus narasi luhur tentang harmoni antara negara, masyarakat, dan hukum. Di sinilah pembangunan menemukan maknanya yang terdalam yakni sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan tanggung jawab moral.


Seperti yang pernah dituturkan oleh Plato, “The measure of a man is what he does with power.” Dalam konteks ini, kekuasaan untuk membangun mestilah digunakan untuk memberdayakan, bukan mengasingkan. SPAM Simpang Tiga Rawang adalah cermin dari kekuasaan yang digunakan secara benar: membasuh dahaga rakyat sekaligus membasuh luka ketimpangan yang selama ini terpendam.


Karena pada akhirnya, air bukan hanya kebutuhan jasmani, tetapi juga simbol spiritual dari kehidupan yang jernih, adil, dan bermartabat.

G.w