![]() |
Penulis : Gandhi Wira Azani |
Jika zaman dahulu manusia terobsesi menjadi suci demi masuk surga, maka zaman ini manusia berlomba menjadi penting demi masuk linimasa.
Di tengah era di mana tiap notifikasi diperlakukan lebih sakral daripada suara hati nurani, pentingisme telah menjelma menjadi agama baru. Sebuah kepercayaan kontemporer yang tidak memerlukan kitab suci, hanya butuh ponsel dan rasa lapar akan validasi.
Kita sedang menyaksikan pergeseran ontologis umat manusia dari homo sapiens menjadi homo signifikans makhluk yang tidak mencari makna, tetapi ingin menjadi makna.
Manifestasi Pentingisme dalam Kehidupan Sehari-Hari
- Tidak diajak rapat kecil? Langsung bikin postingan pasif-agresif dengan hashtag #invisiblelabor.
- Bukannya menyampaikan ide di forum tim, tapi nyindir lewat InstaStory dengan tulisan: “Capek jadi satu-satunya yang peduli"
- Saat teman curhat butuh didengar, tapi pentingis malah kasih ceramah motivasi setara durasi podcast.
- Kritik = Personal Attack: Saat idenya dikritik, pentingis langsung bilang, “Ini pembunuhan karakter!” padahal yang dikritik cuma typo di slide.
- Rapat Jadi Ajang Stand Up Motivasi: Dalam rapat organisasi, pentingis bukan fokus solusi, tapi rebutan mikrofon buat "sharing inspiratif" yang 80% curhat pribadi dan 20% saran ngambang.
Pentingisme: Narsisisme yang Menyamar Sebagai Misi
Pentingisme bukan sekadar penyakit jiwa, ia adalah struktur sosial yang sedang dikukuhkan oleh algoritma dan disponsori oleh ketakutan eksistensial kolektif. Di dunia ini, yang tidak bisa terlihat, dianggap tidak pernah ada. Maka lahirlah orang-orang yang berbicara bukan untuk menyampaikan ide, tapi agar ia didengar meski yang disampaikannya adalah kekosongan yang dibungkus diksi heroik.
Apapun diklaim sebagai panggilan moral asalkan bisa mengukuhkan posisi sebagai pusat perhatian. Ironisnya, semakin banyak orang merasa dipanggil, semakin tidak ada yang benar-benar mendengar.
Koordinasi: Korban Pertama dari Hasrat Menjadi Pusat
Koordinasi adalah seni menjadi bagian, bukan pusat. Maka tak heran ia menjadi korban pertama dalam masyarakat pentingis. Sebab koordinasi membutuhkan pengendapan ego, sementara pentingis bekerja dengan bahan bakar yang sebaliknya: inflasi diri.
Tak mengherankan bila banyak organisasi gagal bukan karena kekurangan strategi, melainkan kelebihan juru bicara yang ingin tampil sebagai “penyelamat”. Dalam simfoni sosial, pentingis bukan pemain biola, ia ingin menjadi konduktor meskipun tak pernah membaca partitur.
Integritas: Nilai yang Tidak Laku di Pasar Kepentingan
Di pasar pentingisme, integritas adalah barang antik yang hanya dipajang dalam pidato, bukan dipraktikkan dalam keputusan. Konsistensi nilai digantikan oleh kelenturan citra. Loyalitas terhadap prinsip digusur oleh kesetiaan terhadap narasi personal.
Mengapa bersusah payah jujur, jika kepalsuan bisa lebih cepat mendapatkan engagement?
Integritas adalah produk yang kalah saing, sebab ia tidak bisa dikapitalisasi. Ia tidak viral. Ia sunyi. Dan di era ini, kesunyian dianggap kelemahan, bukan kebijaksanaan.
Retorika: Topeng Baru bagi Kosongnya Gagasan
Retorika adalah seni mengemas kehampaan agar terdengar seperti kebenaran. Dalam tangan pentingis, retorika menjadi senjata. Mereka tidak mencari kebijaksanaan karena kebijaksanaan membutuhkan kerendahan hati sesuatu yang jelas bertentangan dengan DNA pentingis.
Simulakra menjadi norma baru: bukan apa yang benar, tetapi apa yang terlihat benar. Kata-kata tidak lagi dipakai untuk membuka ruang pikir, tetapi untuk menutup kemungkinan berpikir lain. Bahasa berubah fungsi dari alat komunikasi menjadi tameng ego.
Ego dan Pengakuan: Tuhan-Tuhan Baru di Dunia Sekuler
Barangkali yang kita hadapi hari ini bukan krisis nilai, tapi inflasi ego. Kebenaran bukan lagi soal argumen, tapi soal identitas. Kritik dianggap serangan personal, dan keberbedaan dimaknai sebagai pengkhianatan.
Ini adalah dunia di mana siapa yang paling tersinggung adalah siapa yang paling benar.
Ego menuntut pengakuan bukan dari satu dua orang, tapi dari seluruh jaringan sosial. Dan jika dunia menolak memberi panggung, pentingis akan menciptakan panggungnya sendiri, lengkap dengan lighting dan monolog pahlawan.
Kesimpulan: Mendengar Adalah Tindakan Revolusioner
Mendengar, di zaman ini, adalah tindakan radikal. Bukan mendengar untuk membalas, tapi mendengar untuk mengerti. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh kaum pentingis, karena setiap jeda hanya dipahami sebagai kesempatan untuk menyisipkan ego, bukan empati.
Pentingisme bukan hanya gangguan personal ia adalah sabotase sistemik terhadap kolektivitas. Ia menipu dengan wajah kepemimpinan, menyamar sebagai ketegasan, dan menyusup ke dalam diskursus sebagai kepedulian. Namun ia menelanjangi dirinya lewat satu hal ketakutan kronis untuk menjadi biasa.
Maka jika Anda bertanya apa tugas intelektual hari ini barangkali bukan menambah bacaan, tetapi mengurangi dorongan untuk tampil. Bukan mengucapkan lebih banyak kata, tapi belajar menahan kata demi mendengar semesta orang lain. Karena dalam dunia yang terus berlomba menjadi pusat, mungkin bentuk keberanian tertinggi adalah rela menjadi pinggiran dan tetap utuh.