Oleh: Prof. Iskandar, S.Ag., M.Pd., M.S.I., M.H., Ph.D.
(Guru Besar Psikologi Pendidikan & Founder Ruhiologi)
Kerisjambi.id-Opini-Kita sedang menghadapi krisis pendidikan yang terang benderang. Bukan lagi krisis yang samar di ruang kelas, melainkan krisis moral dan akhlak yang nyata di hadapan kita setiap hari.
Di banyak sekolah dan kampus, murid menolak gurunya, guru kehilangan kesabaran, bahkan tak jarang orang tua ikut menekan lembaga pendidikan. Fenomena tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, judi online, perilaku seks bebas, dan kecanduan gawai kini menjadi wajah baru dunia pendidikan kita.
Semakin banyak anak didik yang cerdas secara teknologi, tetapi lemah secara ruhani dan miskin kendali diri.
Guru semakin banyak bekerja, tetapi semakin sedikit yang bahagia. Sekolah terus dibangun, tetapi jiwa pendidikan pelan-pelan runtuh dari dalam
Anak-anak kita pintar berhitung, tetapi sulit merasakan; pandai berargumentasi, tetapi kehilangan empati.
Guru mengajar dengan disiplin, tetapi sering tanpa kehangatan.Di balik semua kecanggihan kurikulum dan digitalisasi, pendidikan nasional kita perlahan kehilangan ruhnya.
Ruhiologi hadir untuk menggugat keadaan ini.
Bukan menggugat dalam arti menolak sistem, tetapi menggugat kesadaran kita yang terlalu lama dikurung oleh paradigma rasional dan material. Pendidikan kita selama ini memuja prestasi, tetapi lupa pada niat;
mengejar skor, tetapi melupakan nilai; menumbuhkan pengetahuan, tetapi melupakan kebijaksanaan.
Krisis Akal dan Hati
Pendidikan nasional berjalan di atas logika IQ, EQ, dan sedikit SQ tapi semua berhenti pada tataran perilaku luar, tanpa menyentuh kedalaman batin. Sementara di abad kecerdasan buatan (AI), manusia justru makin teralienasi dari hakikat dirinya.
Di sinilah Ruhiologi menggugat. Ia bertanya: “Untuk apa pendidikan jika hanya melahirkan kecerdasan tanpa kesadaran?”
Apa artinya gelar dan data, jika hati tak lagi menjadi pusat kendali moral dan spiritual?
Menuju Intelektual Berkesadaran
Ruhiologi menawarkan jalan baru: lahirnya Intelektual Berkesadaran. Yakni insan akademik yang berpikir dengan akal yang jernih, merasa dengan hati yang bening, dan bergerak dengan ruh yang terhubung kepada Allah.
Intelektual berkesadaran tidak terjebak pada kebanggaan akademik, tetapi menjadikan ilmunya sebagai cahaya yang menuntun kemanusiaan. Ia sadar bahwa ilmu bukan miliknya, tetapi amanah Ilahi. Bahwa berpikir adalah ibadah, dan mengajar adalah bentuk cinta.
Dari Pengetahuan ke Kesadaran
Ruhiologi menegaskan: pendidikan sejati bukanlah kompetisi intelektual, tetapi perjalanan ruhani menuju kesadaran. Kesadaran akan diri, akan Tuhan, dan akan tanggung jawab sosial.
Ketika pendidikan kehilangan ruh, ia melahirkan manusia yang terampil tapi rapuh. Namun ketika ruh kembali menjadi pusat, pendidikan melahirkan manusia yang berilmu, berakhlak, dan berkesadaran.
Revolusi Sunyi dari Jambi
Dari bumi Jambi, gagasan Ruhiologi kini mulai menyalakan gerakan nasional. Puluhan profesor dari berbagai bidang ilmu telah memberi dukungan, dan Pemerintah Provinsi Jambi merekomendasikan pilot project implementasi Ruhiologi di lembaga pendidikan.
Ini bukan sekadar inovasi konsep, tetapi revolusi sunyi. Perubahan paradigma dari mengajar untuk otak menjadi mendidik untuk ruh.
Kembali kepada Ruh Pendidikan
Pendidikan tanpa ruh ibarat pohon tanpa akar: berdiri tinggi, tapi mudah tumbang. Sudah saatnya kita membangun sistem pendidikan yang berkesadaran, yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menyucikan; yang tidak hanya menghasilkan manusia pintar, tetapi juga manusia bijak.
Itulah panggilan Ruhiologi menggugat agar pendidikan kembali kepada jati dirinya: mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyadarkan ruh kemanusiaan. Intelektual sejati bukanlah mereka yang sekadar berpikir, tetapi mereka yang berpikir dengan kesadaran.
Dan dari kesadaran itulah, peradaban dimulai.
#Ruhiologi #IntelektualBerkesadaran #PendidikanHolistik #RevolusiRuhani #KesadaranRuhani #PendidikanNasional #ProfIskandar #SamudraRuhiologi #PendidikanBerjiwa #FilsafatRuhani #TransformasiPendidikan #KecerdasanRQ