Kerisjambi.id - Komisi Informasi (KI) Provinsi Jambi pada Rabu siang (20/8/2025) menggelar dialog rutin hasil kerja sama dengan TVRI Jambi. Tema dialog kali ini adalah “Keterbukaan Informasi di Sektor Pangan” dengan menghadirkan tiga narasumber, yaitu Prof. Dr. Ir. Zulkifli Alamsyah, M.Si, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Drs. Ismet Wijaya, MM, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jambi, serta Zamharir, S.H.I., M.H., Koordinator Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Publik KI Provinsi Jambi. Acara dipandu oleh Ahmad Solihin.
Dalam pemaparannya, Zamharir menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), masyarakat memiliki hak untuk mengetahui informasi publik. Sementara itu, badan publik berkewajiban untuk menyampaikan informasi di bawah penguasaannya, selain informasi yang dikecualikan.
“Informasi publik meliputi informasi berkala, informasi setiap saat, dan informasi serta-merta. Khusus sektor pangan, informasi termasuk kategori serta-merta karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya, kasus beras oplosan baru-baru ini, KI mengapresiasi Dinas Ketahanan Pangan yang segera menyampaikan ke publik mengenai merek-merek beras yang sengaja dioplos oleh pengusaha. Informasi seperti ini harus disampaikan secara benar, akurat, dan tidak menyesatkan,” jelas Zamharir.
Sementara itu, Ismet Wijaya menyampaikan bahwa Dinas Ketahanan Pangan berkomitmen untuk terus menyampaikan informasi yang relevan dan terkini melalui berbagai sarana publikasi.
“Memang baru-baru ini ditemukan adanya beras premium yang dioplos dengan beras medium. Secara kualitas tetap layak dikonsumsi, namun praktik ini tidak benar karena merugikan konsumen. Kami segera menindaklanjuti dan hasil temuannya langsung kami sampaikan melalui media yang dipimpin oleh Asisten II Pemprov Jambi dan daftar merek beras yang diduga dioplos, agar masyarakat mendapat informasi yang jelas,” ujar Ismet.
Sedangkan Prof. Zulkifli Alamsyah menekankan pentingnya keterbukaan informasi bagi produsen maupun konsumen. Menurutnya, salah satu persoalan pangan yakni panjangnya rantai tata niaga yang membuat harga beras tidak terkendali.
“Pemerintah telah menetapkan harga gabah di tingkat petani Rp 6.500 per kilogram. Namun di pasar, harga bisa jauh berbeda karena permainan rantai distribusi. Keterbukaan data mengenai kualitas dan perkembangan harga sangat penting, agar produsen maupun konsumen dapat mengambil keputusan dengan tepat,” terangnya. Beliau juga menyinggung persoalan sarana pertanian, khususnya irigasi, serta pentingnya keberadaan lembaga koperasi yang dapat membantu petani dalam penyediaan input dan pemasaran hasil produksi.
“Pada masa Presiden Soeharto, KUD berjalan efektif memenuhi kebutuhan sarana sekaligus memasarkan produk petani. Harapannya, ke depan koperasi seperti Koperasi Merah Putih dapat menjadi jawaban untuk memperkuat posisi petani dalam rantai tata niaga pangan,” pungkasnya.