Dari Kelas ke Aksi : Pendidikan Berbasis Climate Change sebagai Gerakan Sosial

Oleh: M. Junaidi Habe | Akademisi / Pemerhati Lingkungan


Perubahan iklim (Climate Change) bukan lagi persoalan masa depan yang jauh ia berlangsung sekarang: banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, dan kerusakan lingkungan menjadi kenyataan yang memengaruhi masyarakat luas. Untuk merespons hal ini, pendidikan harus lebih dari sekadar teoritis di ruang kelas. Ia perlu berubah menjadi agen tindakan sosial di mana peserta didik berpindah dari “belajar tentang perubahan iklim” menjadi “bertindak untuk perubahan iklim”. Agenda setting SDGs" merujuk pada proses penetapan dan prioritisas sebagai agenda global untuk pembangunan yang berkelanjutan. Proses ini melibatkan penetapan 17 Tujuan dan 169 target yang disepakati oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015. Agenda ini bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan pada tahun 2030, sementara itu Ekoteologi di Kementerian Agama adalah sebuah program prioritas yang menekankan hubungan antara iman dan lingkungan. Program ini mengintegrasikan kepedulian terhadap alam sebagai bagian dari ibadah, dengan pandangan bahwa manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab menjaga bumi sebagai ciptaan Tuhan. Tujuannya adalah menanamkan kesadaran ekologis berbasis nilai agama melalui berbagai kegiatan seperti pengembangan kurikulum, gerakan penghijauan, dan pembinaan tokoh agama.


Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan perubahan iklim yang efektif tidak hanya mengajarkan fakta ilmiah, tetapi mengaitkannya dengan konteks sosial-kultural, keadilan iklim, dan agen mobilisasi di masyarakat Dari riset yang telah dilakukan oleh WALHI didapatkan data bahwa lahan seluas 159 juta hektar sudah terkapling dalam ijin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah daratan yang secara legal sudah dikuasai oleh korporasi yakni sebesar 82.91%, sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29.75%.Kerusakan Hutan: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi pada Mei 2022 memperkirakan sekitar 60% hutan Jambi sudah dirambah atau rusak akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan, pertambangan, dan kegiatan lainnya. Laporan KKI Warsi pada akhir 2019 menyebutkan luas hutan di Jambi tersisa sekitar 900 ribu hektar atau 17% dari total luas Jambi. Fakta tersebut membuat kita miris . McFarland membahas bagaimana dinamika kekuasaan dan responsivitas institusional menentukan apakah keluhan berkembang menjadi tindakan terorganisir. Teori ini menggarisbawahi pentingnya pembingkaian, aliansi, dan kerentanan politik, dengan berargumen bahwa gerakan seringkali berkembang pesat ketika memanfaatkan pergeseran kekuasaan atau norma


Pendidikan sebagai Gerakan Sosial

Konsep pendidikan berbasis perubahan iklim sebagai gerakan sosial berarti bahwa aktivitas pembelajaran diarahkan untuk mendorong partisipasi aktif, kolaborasi, dan aksi nyata di luar kelas. Beberapa poin penting: Pelibatan aktif siswa/mahasiswa dalam aksi sosial lingkungan tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi menjadi penggerak perubahan.Integrasi antara ilmu dan keadilan iklim: pendidikan bukan hanya soal “apa yang terjadi”, tetapi “siapa yang terkena dan apa yang bisa kita lakukan”. Hubungan antara lokal dan global: pembelajaran di kelas diarahkan agar siswa memahami dampak lokal perubahan iklim, dan bagaimana mereka bisa terhubung dengan gerakan global.Metode yang transformatif: pembelajaran yang mengajak refleksi kritis, aksi nyata, dan transformasi nilai bukan hanya transfer pengetahuan.


Dari Kelas ke Aksi: Langkah Praktis

Modul Pembelajaran Kontekstual.Kurikulum menjembatani teori perubahan iklim dengan realitas lokal, misalnya kondisi lingkungan sekitar sekolah/kampus, pengalaman masyarakat.Proyek Aksi Lingkungan.Setelah pembelajaran, siswa/mahasiswa melakukan aksi nyata: kampanye pengurangan sampah plastik, penanaman pohon, pengukuran kualitas udara, atau advokasi kebijakan lingkungan kampus.Kolaborasi dengan Komunitas dan Organisasi Sosial.Menghubungkan ruang kelas dengan komunitas di luar sekolah lembaga masyarakat, kelompok lingkungan, organisasi pemuda sehingga pembelajaran memiliki konteks sosial nyata.Refleksi dan Dokumentasi Aksi.Membuka ruang bagi peserta untuk merefleksikan pengalaman mereka: apa yang berhasil, hambatan yang dihadapi, bagaimana makna belajar berubah setelah aksi. Penggunaan Media & Teknologi

Pemanfaatan media sosial, platform digital, film pendek, dan dokumentasi aksi untuk memperluas jangkauan dan membangun gerakan sosial yang lebih besar.

Mengapa Penting?. Pendidikan yang hanya teoritis dapat menghasilkan pengetahuan tanpa tindakan sementara krisis iklim membutuhkan aksi konkret.Dengan mengubah siswa menjadi “agen perubahan”, maka mereka tidak hanya siap menghadapi tantangan masa depan, tetapi aktif membangun masa depan berkelanjutan.Gerakan sosial yang dihadirkan melalui pendidikan memperluas dampak siswa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, bukan sekadar individu.


Tantangan dan Peluang

Tantangan meliputi ;Kurikulum formal yang masih terfragmentasi dan tidak selalu mengaitkan perubahan iklim dengan konteks sosial lokal.Sumber daya (waktu, dana, kompetensi guru) yang terbatas untuk mengimplementasikan model aksi.Kesenjangan antara “kelas” dan “aksi” terkadang proyek hanya jadi kegiatan simbolis tanpa dampak jangka panjang.

Peluang diantaranya; Generasi muda yang sangat peka terhadap isu lingkungan dan teknologi mereka dapat menjadi motor gerakan sosial perubahan.Teknologi digital dan media sosial memfasilitasi penyebaran ide dan mobilisasi secara cepat.Integrasi pendidikan lingkungan-keadilan iklim dapat memperkuat relevansi pendidikan bagi siswa dan masyarakat.

Pendidikan berbasis perubahan iklim yang dikonseptualisasikan sebagai gerakan sosial membuka ruang baru: dari “belajar” menjadi “bertindak”; dari “kelas” menjadi “komunitas”; dari “teori” menjadi “praktek”. Untuk menghadapi tantangan masa depan yang kompleks, diperlukan pendidikan yang membekali peserta dengan pengetahuan, kesadaran sosial, dan keberanian mengambil aksi. Dengan demikian, kelas bukanlah akhir dari pembelajaran ia adalah awal dari gerakan.


Tags: