Wise Journalism


 Oleh: Herri Novealdi *)

Keriajambi.id, Jambi-Banyak yang percaya bahwa hari ini bukan cuma seorang editor yang menentukan headline berita. Algoritma media sosial juga mengkomputasikan dan memilihkan apa yang direkomendasikan. Di sisi lain redaksi media massa yang mengikuti arus dan logika tersebut agar target mereka bisa tepat sasaran.


Kalau dulu seorang wartawan berlari untuk mengejar kebenaran. Kini banyak yang duluan berlari karena sekadar mengejar engagement. Tak pelak, praktik wild journalism pun bermunculan.


Mereka mengenyampingkan kepentingan publik. Yang penting adalah mereka bisa lebih cepat, click bait, dan penuh sensasi. Publish dulu, klarifikasinya bisa belakangan. Selagi masih ramai, topik itu akan terus digoreng sedemikian rupa. Yang penting viral dulu. Siapa yang lebih cepat dan lebih viral, dia merasa dirinya paling berhasil. Kalau sudah begini tentu jurnalisme kehilangan esensinya, yaitu kebijaksanaan.


Padahal di era seperti sekarang, semestinya jurnalisme tidak hanya mengejar fakta saja. Ada istilah wise journalism yang menghendaki jurnalis saat bertugas juga mesti mempertimbangkan dampak sosial, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap pemberitaan yang mereka produksi. Dengan kata lain: seharusnya mereka mengedepankan journalism of meaning, bukan malah journalism of speed.


Dalam kultur digital yang sering latah akan sensasi seperti sekarang ini memang cukup banyak ditemukan praktik keliaran dan banalitas. Verifikasi berlapis yang sebelumnya menjadi suatu tuntutan kini seolah dipinggirkan demi viral. Emosi publik justru menjadi komoditas dan mempersamakan popularitas menjadi suatu yang dianggap kebenaran.


Konten yang memicu impresi, reaksi emosional marah, takut, ataupun penasaran di media sosial meningkatkan interaksi. Akibatnya, sebagian jurnalis tergoda untuk menyesuaikan gaya pemberitaan agar selaras tren di era digital seperti itu.


Bisa ditengok bersama pada kasus-kasus viral tentang kekerasan, eksploitasi korban, atau privasi publik. Kasus-kasus pemberitaan yang menelanjangi korban kekerasan seksual misalnya: menampilkan wajah pelaku tanpa asas praduga tak bersalah, atau mengangkat isu pribadi dan sensitif menjadi tontonan publik adalah contoh nyata dari jurnalisme yang kehilangan kebijaksanaannya.


Bila sudah viral di media sosial, tak perlu waktu lama. Media massa juga akan memberitakan topik serupa. Ini salah satu contoh betapa betapa mudahnya seorang jurnalis ataupun media massa tergelincir ke wild journalism.


Wise journalism mencoba melawan arus ini dengan mengembalikan fungsi utama media, yaitu mencerdaskan publik dan menjaga ruang demokrasi. Jurnalisme yang bijak adalah melibatkan publik secara etis dan membantu masyarakat memahami kompleksitas isu, bukan malah memperkeruhnya.


Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sudah sejak jauh-jauh hari menegaskan adanya salah satu prinsip mendasar: tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menghormati pengalaman traumatik narasumber. Namun, tekanan pasar digital sering kali membuat prinsip itu kalah oleh kepentingan traffic dan algoritma.


Wise journalism menuntut keberanian untuk berkata tidak terhadap tekanan pasar, dan kesetiaan terhadap nilai dan nalar publik. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, jurnalisme yang bijak juga berarti mereka peka terhadap nilai-nilai lokal, agama, dan budaya. Mereka menghormati perbedaan, menjaga martabat, dan menumbuhkan empati sosial.


Kebijaksanaan dalam jurnalisme berarti kemampuan untuk menjaga jarak dari kepentingan, menimbang sama berat dan mengukur sama panjang dari dampak sosial setiap berita, dan mengedepankan kemanusiaan di atas sensasi.


Sebagai seorang jurnalis mereka mempertimbangkan apakah hal itu baik atau tidak bagi publik dan nilai-nilai kemanusiaan. Tugas seorang jurnalis bukan sekadar melaporkan, tetapi menyejukkan dan menuntun publik untuk memahami makna di balik fakta. Di samping itu, mereka pun yakin bahwa berkaitan keberlanjutan praktik jurnalistik dan media massa bukan bergantung pada seberapa sering berita diklik, tetapi sejauh mana dia bekerja secara profesional dan seberapa besar ia dipercaya publik.


Sebagaimana diingatkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam kaitannya dengan elemenen jurnalisme, bahwa 1). Kewajiban pertama adalah pada kebenaran; 2). Kesetiaan (loyalitas) jurnalisme adalah kepada warga; 3). Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi; 4) Para praktisinya (jurnalis atau wartawan) harus menjaga independensi dari objek liputannya: 5). Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan; 6). Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi; 7). Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan; 8). Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional; 9). Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya, dan 10). Warga juga punya hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita.


Antara wise journalism dan wild journalism sejatinya adalah antara nurani dan nafsu, antara tanggung jawab dan ketergesaan. Di era ketika semua orang bisa menjadi penyampai berita, peran jurnalis profesional semakin penting. Mereka bukan sebagai pelari tercepat, tetapi sebagai penjaga makna.


Wise journalism mengembalikan jurnalisme ke akarnya sebagai penjaga nurani publik. Jurnalisme yang baik bukan hanya yang tahu banyak, tetapi yang tahu kapan harus berhenti, mendengar, dan memahami.


Itulah wise journalism. Seperti di dalam seloko Jambi: ambil benih campaklah sarap: ambillah sesuatu yang baik dan bermanfaat, tinggalkan sesuatu yang tidak baik. Tau mano alur, mano patut yang artinya kita harus tahu bagaimana harus melangkah atau bagaimana sebuah proses akan berjalan. Kita harus tahu apa yang pantas, layak, atau sesuai untuk dilakukan dalam konteks situasi, waktu, dan tempat tertentu, sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi.


*) Mantan jurnalis dan kini menjadi dosen di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Ahli Pers Dewan Pers. Semasa menjadi jurnalis pernah menjabat Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi. Kini sedang tertarik menulis tentang hukum dan etika pers, serta perkembangan media massa di era digital.


Tags: