Gelombang perubahan: Perspektif Psikologi Generasi Z Menantang Status Quo

Penulis: Gandhi Wira Azan

Dalam lanskap sosial-politik kontemporer, Generasi Z telah menjelma menjadi aktor transformatif yang tidak hanya bersuara, tetapi juga secara aktif menantang narasi dominan yang dianggap gagal merepresentasikan aspirasi publik. 


Fenomena gerakan protes yang kian masif di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa generasi ini tidak sekadar hadir sebagai pelengkap demografi, melainkan sebagai subjek historis yang membawa agenda redefinisi politik, partisipasi, dan kepemimpinan.


Fenomena ini melampaui batas-batas geografis. Di Sri Lanka, krisis ekonomi pada tahun 2022 memantik mobilisasi kaum muda yang akhirnya berujung pada delegitimasi rezim yang dianggap inkompeten. Di Nepal, pembatasan media sosial yang dilihat sebagai bentuk kontrol otoritarian digital disambut gelombang resistensi bernuansa budaya pop sebagai ekspresi frustasi terhadap hegemoni elit. Di Maroko, ribuan pemuda yang tergabung dalam gerakan GenZ 212 menyuarakan kritik terhadap prioritas kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kebutuhan rakyat, menandai disonansi yang semakin lebar antara negara dan warga.


Fenomena-fenomena ini dapat dibaca sebagai gejala krisis kepercayaan (trust crisis) terhadap institusi kepemimpinan formal. Secara teoretis, Mayer, Davis, dan Schoorman (1995) menyusun kerangka konseptual tentang kepercayaan yang mencakup tiga dimensi kunci: ability (kapasitas untuk memenuhi ekspektasi), benevolence (intensi untuk berbuat baik terhadap pihak lain), dan integrity (komitmen terhadap nilai moral dan konsistensi tindakan). Ketika dimensi-dimensi ini mengalami keretakan, maka implikasinya bukan hanya keruntuhan relasi antara pemimpin dan rakyat, tetapi juga delegitimasi struktur politik secara menyeluruh.


Generasi Z sebagai generasi digital native mengembangkan kepekaan kritis yang terasah oleh paparan informasi multisumber dan real-time. Mereka mampu menangkap ketidaksesuaian antara retorika dan realitas secara cepat, dan membangun evaluasi politik berbasis pengalaman empiris serta observasi sosial. Dalam konteks ini, protes dan aktivisme bukanlah ekspresi kebencian terhadap sistem, melainkan bentuk artikulasi politis yang menuntut ruang partisipasi yang otentik dan substantif.


Dalam kapasitas saya sebagai Mahasiswa Psikologi, saya melihat ada paralel yang mencolok antara dinamika ini dengan teori psychological contract yang dikemukakan Rousseau (1995). Di dunia kerja, kontrak psikologis merepresentasikan ekspektasi tak tertulis antara individu dan institusi. Ketika kontrak ini dilanggar entah karena ketidakkonsistenan, ketidakadilan, atau pengabaian terhadap nilai maka respon emosional dan perilaku yang muncul adalah penarikan diri, sinisme, bahkan resistensi. 


Dalam konteks politik, kontrak psikologis antara warga negara dan negara serupa: ia dibangun oleh janji, harapan, dan nilai bersama. Pelanggaran terhadapnya, khususnya oleh pemimpin yang abai terhadap moralitas publik, menghasilkan respons yang tidak hanya berupa kekecewaan, tetapi juga disrupsi terhadap partisipasi konvensional.


Lebih jauh, Rousseau menekankan bahwa reaksi terhadap pelanggaran kontrak ini sangat dipengaruhi oleh struktur nilai dan identitas individu. Generasi Z, yang cenderung egalitarian, antielitis, dan berorientasi pada keadilan sosial, tidak merespons pelanggaran ini dengan apati, melainkan dengan pencarian ruang baru yang memungkinkan artikulasi nilai dan identitas mereka. Oleh karena itu, kita menyaksikan pergeseran signifikan dalam lanskap politik dari struktur vertikal menuju relasi horizontal, dari kekuasaan simbolik ke otoritas moral yang dirasakan nyata dan setara.


Situasi ini menandakan kekosongan kepemimpinan yang bersifat transformasional-servant. Greenleaf (1977) memperkenalkan konsep servant leadership sebagai paradigma alternatif yang menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai esensi utama kepemimpinan. Sendjaya (2008) menegaskan bahwa authenticity keaslian dan kesetiaan terhadap nilai merupakan elemen nonnegotiable dalam model ini. Sayangnya, dalam praktik politik kontemporer, figur semacam ini kian langka. Justru dalam kekosongan inilah, Generasi Z menaruh kepercayaan kepada aktor-aktor non-konvensional: tokoh akar rumput, komunitas independen, dan bahkan influencer yang menyuarakan keadilan secara konsisten, meski tanpa legitimasi formal.


Kepercayaan hari ini bukanlah sesuatu yang dapat diminta atau diklaim oleh pemimpin. Ia adalah konsekuensi dari praktik etis yang konsisten, komunikasi yang transparan, dan keberpihakan yang terbukti. Dalam konteks ini, Generasi Z tidak tertarik pada wacana kosong atau janji populis. Mereka mengevaluasi berdasarkan rekam jejak, integritas, dan kesesuaian antara narasi dan aksi. Bahasa baru kepercayaan adalah keterbukaan, kolaborasi, dan keotentikan—tiga prinsip yang kini menjadi currency dalam interaksi politik.


Fenomena ini, jika dibaca secara konstruktif, menyimpan potensi besar untuk rehumanisasi politik. Kita sedang berada di titik kritis untuk merekonstruksi demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif yang mengandaikan warga negara bukan sebagai objek kekuasaan, melainkan sebagai subjek historis yang aktif, kritis, dan berdaya. 


Politik, dalam tafsir ini, bukan sekadar arena perebutan kuasa, tetapi ruang untuk membangun pemaknaan kolektif tentang keadilan, tanggung jawab, dan solidaritas.


Saya meyakini bahwa ketika kepercayaan berhasil dipulihkan melalui kepemimpinan yang melayani dan otentik, Generasi Z akan memainkan peran strategis sebagai katalis perubahan sosial politik. Namun pertanyaan yang lebih fundamental adalah: bukan sekadar apakah generasi muda akan mempercayai pemimpin, tetapi apakah para pemimpin bersedia dan mampu menjadi entitas yang layak dipercaya.