Oleh: Ahmad Taufiq Helmi. SP. M.sos Ketua Komisi Informasi Provinsi Jambi
Gelombang aksi unjuk rasa di Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 kemaren, yang dipicu oleh kebijakan Bupati Sudewo menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250%, mengacu pada Peraturan Bupati Pati Nomor 17 Tahun 2025, yang mengubah Perbup sebelumnya (Nomor 12 Tahun 2024) terkait penetapan persentase dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB-P2, Alasan kenaikan, menurut Bupati, adalah karena pajak tersebut sudah 14 tahun tidak mengalami penyesuaian, dan pendapatan dari sektor ini tergolong rendah untuk mendukung pembangunan daerah, bukanlah sekadar peristiwa lokal. Ini adalah alarm keras yang seharusnya terdengar hingga ke telinga para kepala daerah di seluruh Indonesia—bupati, wali kota, hingga gubernur. Pesannya tegas: setiap kebijakan publik harus berpihak pada kepentingan rakyat dan dijalankan dengan transparansi penuh.
Kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat, apalagi terkait kewajiban finansial rakyat kepada negara, tidak boleh lahir dari ruang tertutup. Kenaikan pajak bukan hanya soal angka, melainkan soal kepercayaan, legitimasi, dan rasa keadilan. Ketika rakyat merasa tidak dilibatkan, bahkan tidak diberi penjelasan memadai, maka wajar jika muncul resistensi yang masif.
Dalam menjalankan visi dan misi kepala daerah, para kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memegang peran strategis. Mereka wajib menyodorkan solusi yang kreatif, inovatif, dan realistis, apalagi di tengah fiskal yang sedang tidak ideal. Namun, tanggung jawab akhir ada di pundak kepala daerah. Ia tidak boleh sekadar mengandalkan rekomendasi OPD tanpa melalui kajian mendalam, analisis risiko, dan keterlibatan publik.
Proses pengambilan kebijakan seharusnya melewati beberapa tahap seperti Identifikasi masalah dan urgensi kebijakan, Kajian akademis dan teknis untuk melihat kelayakan, Analisis dampak ekonomi, sosial, dan politik,Konsultasi publik dan partisipasi masyarakat dan Pengumuman resmi beserta dokumen pendukung.
Jika salah satu tahap ini dilewati, potensi penolakan publik akan membesar. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) adalah panduan hukum yang mengatur kewajiban badan publik untuk membuka informasi kepada masyarakat. Pasal 3 UU KIP menegaskan tujuh tujuan utama: Pertama Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana, program, proses, dan alasan pengambilan kebijakan publik.
Kedua Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Ketiga Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan badan publik, Keempat Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan, efektif, efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan, Kelima Memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui alasan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak, Keenam Mengembangkan ilmu pengetahuan dan kehidupan berbangsa, Ketujuh Meningkatkan kualitas layanan informasi di badan publik.
Bahkan pada Pasal 11, badan publik wajib menyediakan informasi setiap saat, termasuk:
a) Daftar seluruh informasi publik (kecuali yang dikecualikan). Hasil keputusan badan publik beserta pertimbangannya
b)Seluruh kebijakan berikut dokumen pendukungnya.
c)Rencana kerja proyek.
d) Perjanjian dengan pihak ketiga.
e) Pernyataan kebijakan yang disampaikan pejabat publik di forum terbuka. f)Prosedur kerja pegawai dan atau h)Laporan akses layanan informasi.
Artinya, setiap kebijakan yang akan memengaruhi kehidupan rakyat harus diumumkan secara terbuka beserta alasan, data, dan analisis pendukungnya. Tidak cukup hanya menyampaikan keputusan di akhir, apalagi setelah kebijakan berjalan.
Pertanyaannya, apakah kebijakan kenaikan pajak 250 persen di Pati telah memenuhi ketentuan UU KIP?,
Apakah rencana kebijakan ini diumumkan secara terbuka sejak awal?,
Apakah kajian dan alasan kebijakan dipublikasikan?,
Apakah masyarakat diberi kesempatan memberikan masukan sebelum keputusan diambil?,
Apakah analisis dampak telah disampaikan kepada publik?
Jika jawabannya “tidak” atau “belum maksimal”, maka jelas terjadi pelanggaran terhadap semangat keterbukaan publik.
Pelajaran untuk Seluruh Indonesia
Kasus Pati adalah cermin nasional. Kepala daerah di seluruh Indonesia harus sadar bahwa UU KIP bukan hanya formalitas hukum, melainkan instrumen pencegah krisis kepercayaan. Kebijakan yang transparan cenderung lebih mudah diterima rakyat, bahkan jika kebijakan itu berat, karena rakyat merasa dilibatkan dan memahami alasannya.
Keterbukaan informasi juga menjadi senjata melawan korupsi. Dengan masyarakat bisa mengakses dokumen, data, dan proses pengambilan keputusan, maka potensi penyalahgunaan wewenang dapat ditekan. Transparansi adalah benteng utama integritas pemerintahan.
Hari ini, rakyat menuntut kebijakan yang pro-rakyat—yang dapat mengenyangkan perut, menenangkan pikiran, dan memberikan kepastian hidup. Kepala daerah harus ingat, legitimasi politik tidak hanya lahir dari kemenangan di pemilu, tetapi juga dari kepercayaan rakyat yang terus dipelihara melalui keterbukaan.
Dari Pati, kita belajar: setiap kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak harus melalui proses yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. UU KIP bukan sekadar dokumen undang-undang, tapi kompas moral dan politik bagi setiap pemimpin daerah di negeri ini.