Malam Satu Suro: Antara Tradisi dan Harapan di Tanah Jawa

 

Malam itu, hawa dingin mulai menyelimuti dusun Kedungjati. Bukan dingin biasa, melainkan dingin yang membawa serta aura sakral, seolah langit dan bumi tengah berdialog dalam bisikan-bisikan kuno. Malam itu adalah malam 1 Suro, penanda dimulainya Tahun Baru Jawa, yang jatuh berbarengan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.


Di rumah-rumah, aroma kemenyan samar-samar tercium, berbaur dengan wangi melati yang disiapkan untuk sesaji. Suara jangkrik bersahutan dari kejauhan, seolah ikut mengamini kesyahduan yang merayapi setiap sudut desa. Bagi masyarakat Jawa, terutama yang masih teguh memegang tradisi, malam 1 Suro bukanlah sekadar pergantian tahun, melainkan sebuah momen sakral untuk introspeksi diri, membersihkan jiwa, dan memohon keselamatan.


Di kediaman Mbah Karto, sesepuh desa yang usianya sudah menginjak delapan puluh tahun, suasana begitu khusyuk. Mbah Karto, dengan rambut memutih dan sorot mata teduh, memimpin keluarga dan beberapa tetangga untuk melakukan tirakatan. Mereka duduk bersila di tikar pandan, melafalkan doa-doa dalam hening, sesekali diselingi isakan lirih dari kaum ibu yang larut dalam permohonan.


"Suro itu saatnya kita 'eling' dan 'waspada', Nak," ujar Mbah Karto suatu sore sebelumnya kepada cucunya, Ardi, seorang pemuda yang baru pulang dari perantauan di kota. "Eling marang Gusti, eling marang sedulur, lan eling marang urip. Waspada saka godha, waspada saka laku ala." (Ingat kepada Tuhan, ingat kepada sesama, dan ingat kepada kehidupan. Waspada dari godaan, waspada dari perbuatan jahat).


Ardi, yang awalnya agak sangsi dengan tradisi ini, perlahan mulai merasakan getaran yang sama. Ia melihat bagaimana seluruh warga desa, dari yang muda hingga yang tua, bahu-membahu menyiapkan upacara. Ada yang membersihkan pusaka-pusaka keris dan tombak yang diwarisi turun-temurun, ada yang menyiapkan sesaji berupa tumpeng dan jajanan pasar, ada pula yang berziarah ke makam leluhur.


Puncak acara di dusun Kedungjati adalah kirab pusaka yang digelar selepas tengah malam. Obor-obor menerangi jalan, membimbing langkah para warga yang mengarak pusaka-pusaka desa dengan penuh hormat. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara gamelan pelan yang mengiringi, menciptakan suasana mistis nan agung. Konon, kirab ini adalah simbol upaya membersihkan desa dari bala, serta memohon berkah untuk tahun yang akan datang.


Namun, 1 Suro tak melulu tentang ritual. Bagi sebagian pemuda seperti Ardi, ini juga menjadi momentum untuk berkumpul kembali dengan keluarga, merasakan kehangatan rumah, dan merenungkan kembali makna hidup. "Dulu saya pikir ini cuma adat kuno," kata Ardi sambil tersenyum. "Tapi sekarang, saya merasa ada kedamaian di sini. Ada kekuatan dari kebersamaan dan keyakinan."


Di sudut lain desa, Bu Sumi, seorang pedagang di pasar, justru memanfaatkan momen 1 Suro untuk introspeksi. Ia bercerita bagaimana ia selalu menyempatkan diri untuk berpuasa sehari sebelum 1 Suro, berharap dosa-dosanya diampuni dan rezekinya dilancarkan. "Ini bukan cuma kepercayaan, Mas. Ini tentang niat baik dan berusaha jadi orang yang lebih baik," tuturnya sambil merapikan dagangannya.


Malam 1 Suro memang menyimpan banyak makna. Ia adalah cerminan dari harmoni antara spiritualitas dan kehidupan sehari-hari, antara yang sakral dan yang profan. Ia adalah jembatan antara masa lalu yang kaya akan warisan leluhur, masa kini yang terus beradaptasi, dan masa depan yang penuh harapan. Ketika fajar menyingsing, menandai datangnya hari pertama Suro, masyarakat Kedungjati merasa lega. Mereka telah melewati malam yang panjang, membersihkan diri, dan siap menyongsong tahun yang baru dengan semangat dan doa-doa yang telah dipanjatkan.