Dalam Hening Kain, Terselip Aksara: Ida Mariyanti dan BRIN Merajut Sejarah yang Terlupa


 


Kerisjambi.id- Jambi 17 Juni 2025 — Di sebuah sudut kota Jambi yang tak begitu ramai, seorang perempuan paruh baya dengan semangat yang tak lekang oleh waktu terus menorehkan jejaknya. Namanya Ida Mariyanti, pengrajin batik sekaligus pemilik Sanggar Disabilitas Prestasi Rindani—tempat di mana karya-karya batik bukan sekadar kain, melainkan cerita, warisan, dan perlawanan terhadap pelupaan.


Rabu (17/6), langkah Ida kembali menapaki lorong waktu budaya. Ia menerima kunjungan tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang tengah menelusuri jejak Aksara Incung—aksara tua khas masyarakat Kerinci yang nyaris terpinggirkan oleh zaman.



Pertemuan itu bukan pertemuan biasa. Ida menyerahkan sebuah buku berharga, hasil kolaborasinya bersama dua sahabat lama, Roslinda Dewi dan Najula. Ketiganya adalah alumni SMAN 1 Jambi yang terpanggil untuk menulis dan merekam napas terakhir Aksara Incung melalui buku yang mereka karang di tengah sunyinya masa pandemi, dan diterbitkan pada Juli 2021 lalu.



“Alhamdulillah, saya senang sekali bisa berbagi buku ini kepada BRIN. Kami menulisnya dengan harapan agar Aksara Incung tidak hanya tinggal dalam ingatan, tetapi bisa terus dikenali lewat media-media baru, salah satunya batik,” tutur Ida, matanya berbinar meski lelah jelas terasa.


Lebih dari sekadar dokumen tulisan, Ida juga menyerahkan sehelai kain batik bermotif Aksara Incung—sebuah karya yang tak hanya indah, tapi penuh makna. Ia menandatangani kain tersebut sebagai simbol dirinya sebagai penggagas pertama ide pengintegrasian Aksara Incung ke dalam motif batik, langkah yang kemudian menginspirasi banyak pihak.



Di balik semua ini, ada satu hal yang terus menjadi benang merah: pelestarian yang hidup. Bagi Ida, melestarikan budaya bukan sebatas mengingat, tapi menghidupkan. Lewat sanggar yang juga memberdayakan para penyandang disabilitas, ia menunjukkan bahwa budaya bisa menjadi ruang inklusi, ekspresi, dan kebanggaan.


“Semoga ke depannya BRIN dapat membuka ruang kerja sama lebih luas dengan pelaku industri batik di Jambi. Banyak dari kami yang bekerja diam-diam, namun dengan cinta yang besar untuk budaya ini,” ujarnya pelan.


Di tangan Ida Mariyanti, Aksara Incung tak hanya menjadi huruf mati. Ia menjelma menjadi motif, menjadi perjuangan, dan menjadi identitas yang ditoreh dengan malam, canting, dan harapan. (*Red) 







Tags: