Makna Hari Ibu: Sebuah Refleksi Moral


 Oleh: M. Junaidi Habe- Akademisi                                                      

Kerisjambi-Id,Jambi- Hari Ibu tidak semestinya dipahami sebatas perayaan simbolik yang dipenuhi bunga, kartu ucapan, atau hadiah. Lebih dari itu, Hari Ibu adalah ruang refleksi moral—sebuah momentum untuk meninjau kembali nilai-nilai kemanusiaan, pengorbanan, dan tanggung jawab sosial yang melekat pada sosok ibu serta perempuan secara luas.


Secara historis, peringatan Hari Ibu di Indonesia berakar pada peristiwa penting, yakni Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini mempertemukan berbagai organisasi perempuan dari berbagai daerah yang dengan kesadaran kolektif membahas isu-isu strategis: perjuangan hak perempuan, akses pendidikan, persoalan perkawinan dan kesejahteraan keluarga, serta peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959.


Di Indonesia, Hari Ibu memiliki makna historis dan etis yang kuat. Ia lahir dari kesadaran perempuan akan pentingnya martabat, keadilan, dan pendidikan sebagai fondasi kehidupan bersama. Karena itu, Hari Ibu sejatinya tidak semata-mata tentang hubungan biologis antara ibu dan anak, melainkan tentang nilai-nilai moral yang diwariskan dan diperjuangkan perempuan bagi masyarakat dan bangsa.


Ibu sebagai Sumber Nilai Moral

Dalam perspektif psikologi dan sosiologi pendidikan, peran ibu sebagai sumber nilai moral sangatlah fundamental. Albert Bandura melalui Teori Belajar Sosial menegaskan bahwa anak belajar nilai dan perilaku melalui proses observasi dan peniruan (modeling). Sementara itu, Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral dipengaruhi oleh interaksi sosial serta lingkungan awal yang konsisten dan penuh keteladanan peran yang dalam praktiknya sering diemban oleh ibu.

Dalam kehidupan sehari-hari, ibu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya. Dari ibu, manusia belajar kejujuran, empati, kesabaran, tanggung jawab, dan kasih sayang. Pendidikan moral ini jarang disampaikan melalui ceramah, melainkan melalui teladan nyata: bekerja tanpa pamrih, mencintai tanpa syarat, serta bertahan dan tetap memberi dalam keterbatasan.

Nilai-nilai tersebut menjadi fondasi pembentukan karakter individu dan, pada skala yang lebih luas, karakter bangsa. Merendahkan peran ibu berarti melemahkan basis moral masyarakat itu sendiri.


Hari Ibu sebagai Refleksi Moral Sosial

Hari Ibu seharusnya mengajak kita bertanya secara jujur dan kritis: apakah perempuan dan ibu telah diperlakukan secara adil dan bermartabat? Apakah kerja domestik dan pengasuhan telah diakui sebagai kerja yang bernilai sosial? Apakah kebijakan publik dan budaya sosial benar-benar ramah terhadap ibu dan perempuan?

Pertanyaan-pertanyaan ini relevan karena realitas sosial menunjukkan bahwa banyak ibu masih menghadapi beban ganda, kekerasan domestik, kemiskinan struktural, serta keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Dalam konteks ini, Hari Ibu tidak boleh berhenti pada romantisme, tetapi harus menjadi kritik moral terhadap sistem sosial yang belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan.


Hari Ibu dan Kesadaran Sosial

Dari perspektif sosiologi, Émile Durkheim memandang pendidikan sebagai proses internalisasi nilai-nilai sosial. Sejalan dengan pandangan ini, Hari Ibu di Indonesia memiliki keunikan karena lahir dari perjuangan kolektif perempuan, bukan dari tradisi komersial atau budaya populer semata. Peringatan ini merefleksikan semangat kebangsaan dan kesadaran sosial yang tumbuh dari sejarah perjuangan perempuan Indonesia.

Dengan demikian, Hari Ibu menjadi pengingat bahwa kasih sayang harus berjalan seiring dengan keadilan, dan penghormatan harus diwujudkan dalam keberpihakan yang nyata.


Menjadikan Hari Ibu Lebih Bermakna

Merayakan Hari Ibu secara bermakna tidak cukup dengan simbol dan formalitas. Ia menuntut perubahan sikap dan tindakan konkret: menghormati ibu melalui perilaku sehari-hari, membagi peran dan tanggung jawab keluarga secara adil, mendukung pendidikan serta pemberdayaan perempuan, dan menolak segala bentuk kekerasan serta diskriminasi.

Makna Hari Ibu sebagai refleksi moral mengajarkan bahwa ibu bukan sekadar sosok yang kita cintai, melainkan simbol nilai kemanusiaan yang harus dijaga. Menghormati ibu berarti menghormati kehidupan, keadilan, dan masa depan. Dari ibu, kita belajar bahwa kekuatan terbesar tidak selalu lahir dari kekuasaan, melainkan dari kasih sayang, keteguhan, dan keikhlasan. Pada akhirnya, Hari Ibu adalah panggilan nurani: sudahkah kita menjadi manusia yang lebih bermoral berkat ajaran agama dan teladan seorang ibu? 


Tags: