Di ujung utara Maluku Utara, terdapat sebuah pulau kecil yang menatap langsung Samudra Pasifik Pulau Morotai. Di antara deru ombak dan aktivitas nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut, lahir seorang anak muda bernama Ilham Gogasa, putra kedua dari pasangan Harun Gogasa dan Nadra Abdullah. Lahir pada 12 Februari 1996, Ilham tumbuh di lingkungan pesisir yang sederhana, tempat laut bukan sekadar bentang air biru, melainkan ruang kehidupan, sumber penghidupan, dan bagian dari jati diri masyarakatnya.
Sejak kecil, Ilham sudah akrab dengan perahu nelayan, jaring ikan, dan cerita para orang tua tentang laut yang memberi sekaligus menuntut kebijaksanaan. Rasa ingin tahunya yang besar terhadap laut menjadikannya anak yang tekun bertanya dan rajin belajar. Baginya, laut bukan hanya tempat mencari ikan, tetapi juga tempat manusia diuji dalam memahami keseimbangan alam. Pandangan itu menjadi dasar langkah akademiknya di kemudian hari.
Tahun 2014, Ilham diterima di Universitas Khairun Ternate (UNKHAIR), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur SBMPTN pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP). Di kampus inilah, ia mulai menapaki jalan ilmiah dalam memahami bagaimana manusia dan laut berinteraksi. Ia belajar tentang ekologi perairan, teknik penangkapan ikan, hingga kebijakan pengelolaan perikanan. Lima tahun kemudian, pada 2019, ia menyelesaikan pendidikan sarjananya dengan semangat untuk kembali meneliti laut kampung halamannya yang ia cintai.
Namun perjalanan Ilham tak berhenti di situ. Di tengah keterbatasan fasilitas riset di daerah dan tantangan hidup di pulau kecil, Ilham memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister (S2). Ia diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Perikanan Laut di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB University) pada tahun 2021. Sebuah langkah besar dari Morotai ke Bogor, dari lautan timur ke pusat riset nasional. Bagi Ilham, keputusan itu bukan semata untuk meraih gelar, tetapi untuk membawa pengetahuan kembali ke laut tempat ia berasal.
Tesis yang dikerjakan Ilham berjudul “Kajian Tingkat Kerentanan Usaha Perikanan Handline Tuna Skala Kecil di Kabupaten Pulau Morotai.” Penelitian ini bukan hanya tugas akademik, tetapi juga wujud kepeduliannya terhadap nasib nelayan Morotai para pekerja laut yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah namun masih hidup dalam ketidakpastian. Kabupaten Pulau Morotai memiliki posisi geografis yang strategis, berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, Laut Halmahera, Selat Morotai, dan Laut Sulawesi. Letaknya yang berada di tiga wilayah pengelolaan perikanan nasional (WPPNRI 715, 716, dan 717) menjadikan Morotai sebagai salah satu daerah potensial penghasil ikan tuna, terutama jenis tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Produksi tuna di wilayah ini pada tahun 2021 tercatat sebesar 2.612 ton, menjadikannya komoditas unggulan daerah.
Namun, potensi besar itu menyimpan kerentanan yang serius. Aktivitas penangkapan yang intensif berisiko menyebabkan penurunan stok ikan, sementara cuaca yang tidak menentu dan biaya operasional yang tinggi semakin menekan nelayan kecil. Dengan alat tangkap sederhana seperti pancing ulur (handline) dan durasi melaut yang hanya satu hari, nelayan Morotai sering kali berhadapan langsung dengan ketidakpastian hasil tangkapan dan ancaman keselamatan di laut. Kondisi ini menggugah Ilham untuk meneliti lebih dalam: seberapa rentan sebenarnya usaha perikanan tuna skala kecil di Morotai, dan bagaimana mereka bisa menjadi lebih tangguh?
Dalam penelitiannya, Ilham menilai tingkat kerentanan nelayan tuna dengan pendekatan lima aspek utama: sumber daya alam, sumber daya manusia, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Lima aspek ini tidak berdiri sendiri semuanya saling berkelindan menentukan nasib keberlanjutan perikanan di daerahnya. Ia melakukan wawancara langsung dengan puluhan nelayan di dua kecamatan utama: Morotai Selatan dan Morotai Timur. Dari hasil pengamatan dan data yang ia kumpulkan, terlihat bahwa usaha perikanan handline tuna di Morotai paling rentan pada aspek sumber daya alam (SDA) dan kelembagaan, sedangkan yang paling tangguh justru pada aspek sosial, karena kuatnya solidaritas dan jaringan kerja antar-nelayan.
Ilham menemukan bahwa ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, menandakan gejala overfishing. Beberapa nelayan bahkan harus melaut hingga jarak 30 mil dari pantai untuk mendapatkan tangkapan yang layak jual. Perubahan cuaca ekstrem juga menjadi momok, terutama bagi nelayan yang hanya memiliki kapal berukuran kecil dengan kapasitas mesin 15–30 PK. Di sisi lain, sistem kelembagaan yang seharusnya menjadi payung perlindungan belum berfungsi maksimal. Banyak nelayan tidak memiliki akses terhadap koperasi, asuransi, atau bantuan berbasis data yang berkelanjutan.
Namun di tengah kerentanan itu, Ilham juga melihat ketangguhan sosial yang luar biasa. Nelayan Morotai terbiasa bekerja bersama, saling membantu di laut, berbagi informasi lokasi ikan, hingga saling menolong ketika cuaca buruk melanda. Bagi Ilham, inilah modal sosial yang tak ternilai sebuah kekuatan lokal yang bisa menjadi fondasi bagi pengelolaan perikanan yang lebih tangguh dan mandiri.
Dari hasil penelitiannya, Ilham menyusun delapan strategi untuk meningkatkan resiliensi usaha perikanan handline tuna skala kecil di Morotai. Strategi itu mencakup:
* Pengawasan terhadap ukuran minimum tangkap dan kewajiban penggunaan logbook perikanan.
* Pelatihan adaptasi cuaca berbasis teknologi bagi nelayan.
* Pelatihan vokasi dan pemberian insentif bagi generasi muda nelayan.
* Akses pembiayaan yang lebih mudah melalui koperasi nelayan.
* Diversifikasi ekonomi rumah tangga agar pendapatan nelayan tidak bergantung pada hasil tangkapan semata.
* Penyuluhan berbasis lokal yang dilakukan secara permanen dan berkelanjutan.
* Integrasi program bantuan pemerintah melalui kelembagaan koperasi.
* Pelatihan praktis yang sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Rekomendasi ini bukan hanya untuk akademik, tetapi bisa menjadi bahan pertimbangan nyata bagi Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai dalam menyusun kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Dengan hasil penelitian ini, Ilham berkontribusi dalam menghadirkan data dan analisis berbasis lapangan sesuatu yang sangat penting untuk pembangunan sektor perikanan yang selama ini sering hanya berlandaskan asumsi.
Karya ilmiah Ilham bahkan telah dipublikasikan pada Engineering and Technology Journal (ETJ) Volume 10, Issue 01, Januari 2025, dengan judul berbahasa Inggris: “Vulnerability Assessment of Small-Scale Tuna Handline Fisheries in Morotai Island District.” Publikasi ini menjadi bukti bahwa riset dari ujung timur Indonesia bisa diakui secara akademik dan harapannya dapat menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan khususnya pada tata kelola perikanan tuna.
Menempuh pendidikan di IPB bukan hal mudah bagi pemuda asal pulau kecil. Jarak geografis, adaptasi lingkungan akademik yang kompetitif, hingga keterbatasan finansial menjadi ujian tersendiri. Namun Ilham menjalani semuanya dengan tekad dan kesabaran. Ia dikenal oleh rekan-rekannya sebagai sosok yang rendah hati, mudah bergaul, dan selalu membawa semangat daerah asalnya dalam setiap diskusi.
Selama studi di IPB, Ilham aktif mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Forum Wacana IPB, HIMMPAS, HIMAWIPA, hingga komunitas Global Leadership Sahabat Subuh. Aktivitas organisasi ini membentuk karakternya menjadi pemuda yang tidak hanya berorientasi pada ilmu, tetapi juga pada pengabdian sosial dan kepemimpinan. Ia percaya bahwa ilmu perikanan bukan hanya untuk laboratorium atau ruang sidang tesis, tetapi untuk kehidupan masyarakat pesisir yang membutuhkan solusi nyata.
Dengan kerja keras dan dedikasi tinggi, mengantarkan ilham dalam menyelesaikan studinya di IPB University pada tahun 2025 dengan predikat sangat memuaskan dan IPK 3.75. Angka itu bukan sekadar nilai akademik, tetapi simbol dari perjalanan panjang, ketekunan, dan cinta yang dalam terhadap ilmu serta daerah asalnya.
Ilham Gogasa adalah potret nyata tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi jembatan antara ilmu dan pengabdian. Ia bukan hanya meneliti nelayan, tuna dan laut, tetapi lebih dari itu. Ia belajar bagaimana ilmu bisa digunakan untuk melindungi sumber daya yang memberi kehidupan bagi ribuan keluarga nelayan. Ia membuktikan bahwa anak muda dari daerah terpencil pun mampu berdiri sejajar di panggung akademik nasional, selama ada tekad dan niat yang kuat untuk kembali mengabdi.
Penelitiannya mungkin berfokus pada satu kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, namun maknanya melampaui batas wilayah. Kerentanan nelayan kecil di Morotai adalah gambaran dari tantangan perikanan skala kecil di seluruh Kabupaten/Kota di Maluku Utara. Melalui risetnya, Ilham menunjukkan bahwa memahami kerentanan berarti memahami manusia di balik statistik: para nelayan yang bekerja di bawah terik matahari dan gelombang tinggi demi keberlangsungan sektor perikanan.
Ucapan terima kasih kepada tiga sosok akademisi yang membimbingnya dari awal hingga akhir riset, Prof. Dr. Sugeng Hari Wisudo, Prof. Dr. Eko Sri Wiyono, dan Dr. Darmawan M.A.M.A. Ucapan terima kasih kepada orang tuanya Bapak Harun Gogasa dan Ibu Nadra Abdullah, saudara-saudaranya, para nelayan di Morotai, serta semua pihak yang membantunya di lapangan. Rangkaian ucapan itu menggambarkan kesadaran mendalam Ilham bahwa ilmu yang ia peroleh bukan hasil perjuangan sendiri, melainkan buah kerja bersama.
