Kritik Bukan Ancaman, Tapi Alarm Kesehatan Organisasi

 

Oleh : Jafar Umar Thalib mahasiswa kelahiran tanjung Jabung timur

Dalam sebuah unggahan yang belakangan ramai dibicarakan, muncul pernyataan yang mengingatkan agar kritik disampaikan di tempat yang tepat dan dengan cara yang beretika. Pernyataan itu juga menyinggung agar gerakan mahasiswa tidak ditunggangi oleh kepentingan pribadi atau segelintir golongan. Sekilas, narasi ini terdengar bijak. Namun jika dicermati lebih dalam, ada kegelisahan yang justru perlu diluruskan.


Pertama, kritik bukan sekadar soal etika penyampaian. Kritik adalah refleksi dari adanya keresahan, dan terkadang bentuknya tidak selalu nyaman untuk didengar. Bila organisasi hanya membuka ruang bagi kritik yang dibungkus manis, maka ruang itu sejatinya bukanlah forum diskusi, melainkan tempat validasi semu.


Kedua, narasi soal "kepentingan pribadi" yang kerap dilontarkan terhadap para pengkritik adalah bentuk pengalihan isu yang melemahkan substansi. Ini adalah cara halus untuk mendelegitimasi suara-suara yang tidak sejalan dengan arus dominan. Padahal, bukankah justru di situlah letak kekuatan gerakan mahasiswa — menjadi ruang bagi mereka yang berani bersuara di luar arus?


Kita perlu waspada terhadap upaya pembungkaman yang dibungkus dalam kata-kata manis. Etika tidak boleh dijadikan tameng untuk menolak kritik. Justru organisasi yang sehat adalah organisasi yang berani bercermin, meski pantulannya menyakitkan.


Gerakan mahasiswa bukan alat kekuasaan segelintir orang. Ia lahir dari keresahan kolektif, dibentuk oleh keberanian, dan hidup melalui dialektika yang terbuka. Maka, jika ada suara-suara kritis yang muncul, tugas kita bukan membungkamnya — tapi mendengarkan dengan jujur dan menjawab dengan tanggung jawab.