KerisJambi.id - Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia merayakan Hari Anak Nasional, sebuah momen refleksi yang mengingatkan kita bahwa dunia anak tak hanya sebatas bangku sekolah, namun juga hamparan luas ruang permainan. Ini bukan penanda waktu melainkan undangan untuk merenung bagi para pendidik dan orang tua, kita tak hanya melulu menyuapi mereka dengan teori, namun juga mempertajam etika dan budi pekerti, sebab kebijaksanaan sejati jauh lebih mulia dari sekadar deretan angka dan rumus saja.
Perlu kita ingat bahwa, era digital kini membalut kehidupan anak-anak dengan benang yang rumit, senandung permasalahan menari dengan lihainya. Dulu, bermain adalah petualangan di halaman rumah, kini seringkali terkurung dalam gawai hingga habis baterai.
Ada banyak PR dari beberapa benang kusut terhadap anak, yang perlu kita uraikan satu persatu. Pertama, anak tentu tak jauh dari pola asuh orang tua, antara ambisi dan realita banyak orang tua terperangkap dalam pusaran ambisi akademik saja, mengabaikan pentingnya perkembangan emosional dan sosial. Anak-anak dijejali les ini itu, padahal yang paling mereka butuhkan adalah pelukan hangat dan pendengar bingar permasalahan seharian. Kita tau bahwa, tekanan untuk menjadi "sempurna" di mata orang tua dapat memadamkan api kreativitas dan kegembiraan alami dari mereka.
Kedua, lingkungan bermain, dari taman ke layar virtual menjadikan ruang bermain fisik semakin menyusut, tergantikan oleh layar gawai yang membius. Anak-anak kehilangan kesempatan untuk melatih motorik kasar, bersosialisasi secara langsung, dan belajar memecahkan masalah di dunia nyata. Interaksi tatap muka yang krusial untuk mengasah empati dan keterampilan sosial pun jadi terabaikan. Tawa riang di tengah lapangan lenyap bersama gawai yang berada di tangan.
Gawai kini bak pisau bermata dua,yang menawarkan jendela dunia sekaligus jurang ketergantungan. Anak-anak rentan terpapar konten negatif, terjebak dalam perbandingan sosial di media daring, dan mengalami gangguan tidur serta konsentrasi akibat paparan berlebihan. Dunia maya yang tak terbatas ini juga dapat menjadi sarang perundungan siber yang tak kasat mata namun melukai regenerasi bangsa.
Ketiga, manajemen emosional anak seperti badai di dalam diri regenerasi yang menjadi hiruk-pikuk saat ini, anak-anak seringkali kesulitan mengenali dan mengelola emosi mereka. Tekanan dari lingkungan, baik di rumah maupun sekolah, bisa memicu stres, kecemasan, pun parahnya depresi. Mereka butuh bimbingan untuk memahami bahwa menangis itu wajar, marah itu boleh, dan ada cara sehat untuk mengungkapkan perasaan dalam semua keadaan.
Dari beberapa permasalahan krusial yang perlu diperhatikan di atas, tentunya setiap permasalahan memiliki titik tengahnya. Pada pola asuh yang berpusat pada anak, kita perlu "mendengar dari hati, bukan hanya kata" orang tua perlu menjadi pemandu, bukan pengatur. Memberikan ruang bagi anak untuk berekspresi, dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi, dan prioritaskan kesehatan mental dan kebahagiaan di atas segala-galanya. Ciptakan lingkungan rumah yang penuh cinta dan pengertian, tempat anak merasa aman untuk menjadi diri sendiri.
Selain itu, pola belajar yang kreatif dan adaptif, kita perlu "mencetak pelopor, bukan pengikut." sekolah dan orang tua harus berkolaborasi menciptakan pola belajar yang menyenangkan dan relevan. Integrasikan permainan dalam pembelajaran, dorong berpikir kritis dan pemecahan masalah, serta berikan kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Biarkan mereka menjadi arsitek pengetahuannya sendiri.
Selanjutnya, kita mengembalikan esensi bermain, kita perlu membuat ruang "Petualangan tanpa batas" untuk ajak anak-anak kembali ke alam, berikan mereka kesempatan untuk berlari, melompat, dan berinteraksi dengan teman sebaya di dunia nyata. Ciptakan ruang bermain yang aman dan merangsang, jauh dari godaan layar gawai. Ini adalah investasi jangka panjang untuk perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka.
Terakhir, literasi digital dan batasan gawai.pada anak, kita perlu membuat batasan dengan perkembangan teknologi saat ini, kita perlu mengajari regenerasi tentang "Menguasai teknologi, bukan dikuasai" ajarkan anak-anak literasi digital sejak dini, bagaimana menggunakan gawai secara bertanggung jawab, memilah informasi, dan melindungi diri dari bahaya siber. Tetapkan batasan waktu penggunaan gawai yang jelas dan konsisten, serta dorong mereka untuk terlibat dalam aktivitas fisik dan interaksi sosial di luar jaringan
Dengan tumbuhnya sumber daya manusia yang mumpuni, menjadikan regenerasi yang lebih kuat tentunya untuk negara ini, karena anak-anak hari ini adalah arsitek masa depan. Mereka akan menghadapi dunia yang terus berubah, penuh ketidakpastian, namun juga berlimpah peluang.
Walaupun, kita tau bahwa saat ini anak-anak mereka tidak hanya membutuhkan nilai-nilai akademik yang tinggi, tetapi juga keterampilan kolaborasi, berpikir kritis, kreativitas, dan komunikasi yang kuat. Dunia pekerjaan di masa depan akan menuntut kemampuan beradaptasi dan belajar sepanjang hayat.
Selain itu kita juga tau bahwa, anak tumbuh di tengah badai perubahan yang cepat membutuhkan resiliensi atau kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan. Anak-anak perlu diajari cara menghadapi kegagalan, belajar dari kesalahan, dan beradaptasi dengan situasi baru tanpa kehilangan semangat. Bahkan, di tengah lautan informasi digital yang tak berbatas, anak-anak membutuhkan kompas moral yang kuat. Mereka harus mampu membedakan benar dan salah, memahami konsekuensi tindakan daring mereka, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
Untuk itu, kita perlu membangun fondasi etika dan nilai, menyalakan cahaya kebenaran, tanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, empati, dan tanggung jawab sejak dini. Jadilah teladan dalam berperilaku etis, dan ajarkan mereka untuk menjadi warga negara digital yang bertanggung jawab. Diskusi terbuka tentang isu-isu moral dan etika sangat penting.
Pada Hari Anak Nasional ini, mari kita bersatu padu, mengukir masa depan yang lebih cerah bagi generasi penerus negeri. Bukan hanya dengan buku dan pelajaran, melainkan dengan hati yang tulus, pengertian yang mendalam, dan ruang bermain yang lapang, agar mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang seimbang, beretika, dan siap menghadapi tantangan zaman. Bukankah kita ingin melihat mereka terbang tinggi, bukan hanya pusara yang itu-itu saja?
Ditulis oleh : Mimi Fitria, guru SD IT Aulia Muara Bulian, Batanghari.