Batik, Sunyi, dan Sebuah Janji: Kisah Ida Mariyanti Menulis Jambi dalam Diam

 



Kerisjambi.id-Pandemi datang seperti senja yang tak pernah selesai. Jalanan sunyi. Sekolah sepi. Aktivitas berhenti. Tapi dari kesunyian itulah, seorang perempuan melawan lupa dengan menulis. Namanya Ida Mariyanti Syamsir—pengrajin batik, pejuang budaya, dan penjaga ingatan Jambi.


Dunia menutup pintu, tapi Ida membuka jendela sejarah.


“Saat semua orang di rumah, kami saling terhubung lewat Zoom. Tak ada suara riuh, hanya percakapan kecil yang pelan-pelan menjadi api. Kami tak ingin Batik Jambi hanya menjadi motif di atas kain. Ia harus menjadi kisah. Menjadi warisan yang abadi,” ucapnya perlahan, seakan mengulang dialog dengan dirinya sendiri.



Semuanya berawal dari satu telepon. Ahmad Najula, sahabat Ida dari Jakarta, menghubungi Roslinda Dewi, alumni SMA 1 Jambi. Lalu satu nama mengemuka: “Hubungi Ida. Dia tak hanya tahu batik. Dia hidup di dalamnya.”


Dan benar, Ida bukan sekadar tahu. Ia adalah benang yang merajut batik Jambi dari masa ke masa. Seorang ibu, seniman, birokrat, dan pewaris nilai-nilai lokal yang terus berdenyut dalam diam.


Lalu mereka bertiga bertemu—bukan di ruang mewah, tapi di layar kecil Zoom. Dengan jaringan seadanya dan harapan sebesar langit. Mereka menulis. Bukan karena diminta, tapi karena merasa harus. Karena budaya, jika tak ditulis, bisa hilang diam-diam.


“Saya pernah menjadi narasumber dalam dua buku batik. Tapi kali ini saya ingin lebih. Saya ingin menyusun sendiri kisahnya, agar Batik Jambi tak direduksi hanya sebagai oleh-oleh. Ia punya roh, punya filosofi, punya perjalanan,” kata Ida.


Mereka menulis di antara malam yang gelap, di sela listrik yang kadang padam, dan di tengah kabar duka pandemi yang datang tiap hari. Tapi dari semua itu, mereka bertahan. Sebab apa yang mereka tulis lebih besar dari rasa lelah: sejarah.


Dalam proses itulah muncul satu sosok penting—Irjen Pol (Purn) Syafril Nursal. Seorang tokoh Jambi di Jakarta yang bukan hanya memberi dukungan moral, tapi juga menjadi jembatan penting agar buku ini bisa diluncurkan secara layak. “Beliau bukan sekadar membantu,” kata Ida, “beliau memberi napas bagi semangat kami yang nyaris padam.”


Sebagai Ketua Umum Badan Musyawarah Keluarga Jambi Nasional, nama Syafril Nursal tak asing bagi masyarakat. Tapi dalam proyek ini, ia menunjukkan sisi lain: pemimpin yang peduli akar budaya, yang mengerti pentingnya melestarikan bukan hanya hutan dan tanah, tapi juga ingatan. Tanpa campur tangannya, mungkin buku ini tak pernah menyentuh cahaya publik.



Dan di barisan terdepan peluncuran buku ini, hadir pula sosok perempuan tangguh: Ibu Hesnidar Haris, atau yang akrab dikenal sebagai Hesti Haris—Ketua Dekranasda Provinsi Jambi. Ia tak hanya memberi sambutan hangat dalam peluncuran, tapi juga berusaha keras mengangkat karya ini ke tingkat nasional.


“Beliau bahkan mengupayakan kehadiran Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno, melalui Zoom. Sebuah langkah yang menggambarkan komitmen Ibu Hesti terhadap batik sebagai bagian dari diplomasi budaya Jambi,” ungkap Ida penuh hormat.



Akhirnya, pada 9 Oktober 2021 dalam suasana merayakan Hari Batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober, buku tersebut resmi diluncurkan di Rumah Dinas Gubernur Jambi. Meski rencana awal menghadirkan Menteri Sandiaga Uno via Zoom tidak terlaksana penuh, momen itu tetap sakral. Bukan sekadar peluncuran buku, tapi pemaknaan kembali tentang jati diri.


Kini, tahun 2025, Batik Jambi telah melangkah jauh. Tapi buku itu tetap berdiri. Diam-diam dibaca, diam-diam mengubah cara orang melihat Jambi.


“Buku ini belum sempurna. Tapi kami menulisnya dengan cinta. Dan cinta selalu mencari jalannya sendiri,” kata Ida, matanya menyiratkan keyakinan.


Ia tahu, tak semua orang akan membaca. Tapi selama satu anak muda suatu hari membuka halaman pertamanya dan berkata, “Aku tak tahu Batik Jambi punya cerita seperti ini,” —maka segalanya tak sia-sia.


Karena batik bukan sekadar kain. Ia adalah doa. Ia adalah luka yang disulam. Dan Ida, di masa paling sunyi, memilih menjadi penulisnya—dibantu sahabat, dan didorong oleh tokoh seperti Irjen Pol Syafril Nursal, yang tak hanya menjaga hukum, tetapi juga menjaga warisan. (*Red) 

Pewarta: Halim Adrian Putra