Pemerintah Terlelap: Sungai Penuh dan Kerinci di Ambang Krisis Lingkungan

 


Oleh: Hudmi (Mahasiswa ilmu Administrasi Negara UNP)


KerisJambi.id - Sungai Penuh – Krisis pengelolaan sampah di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci kini memasuki fase kritis yang membutuhkan tindakan segera, bukan sekadar janji atau rencana. Di tengah pertumbuhan volume sampah yang tak terbendung, pemerintah daerah masih terjebak dalam sikap pasif menanti pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) regional oleh Pemerintah Provinsi Jambi yang entah kapan terealisasi. Alih-alih mengembangkan solusi mandiri, pihak kota dan kabupaten justru menjadikan proyek provinsi sebagai tameng sempurna untuk abai dari tanggung jawab. Pertanyaan mendasarnya: haruskah ekosistem kita dipertaruhkan demi menunggu mega-proyek yang masih berupa wacana, sementara gunung sampah terus tumbuh mengancam setiap hari?


Data terbaru dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mengungkap tren mengkhawatirkan: timbulan sampah di Kota Sungai Penuh mencapai 18.295 ton pada 2022, kemudian meningkat menjadi 18.405 ton pada 2023. Yang lebih memprihatinkan, persentase sampah terkelola justru mengalami penurunan signifikan dari 93,68% pada 2022 menjadi hanya 84,25% pada 2023. Ini bukan sekadar fluktuasi angka, melainkan sinyal bahaya bahwa sistem pengelolaan sampah mulai kolaps. Sementara di Kabupaten Kerinci, estimasi perkiraan timbulan sampah pada 2024 telah mencapai 70.590 ton per tahun, dengan proyeksi peningkatan drastis hingga 2030 menembus pada angka 143.534 ton per tahun jika tidak segera dilakukan intervensi strategis dan sistematis.  


Ironi paling nyata terlihat pada nasib infrastruktur TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip Reduce, Reuse, Recycle) yang tersebar di berbagai kecamatan dan desa. Fasilitas yang dibangun dengan anggaran publik ini kini banyak yang hanya berfungsi sebagai monumen kemubaziran aktif sesaat setelah peresmian, lalu perlahan terbengkalai akibat minimnya pendanaan operasional, ketiadaan pendampingan teknis, dan lemahnya pengawasan berkelanjutan. Pemerintah seolah menganut filosofi "selesai di kertas, beres di laporan" mengukur keberhasilan dari jumlah bangunan yang diresmikan, bukan dari efektivitas sistem pengelolaan yang tercipta. Padahal, esensi penanganan sampah terletak pada keberlanjutan proses, bukan semata keberadaan fisik infrastruktur.


Di balik krisis lingkungan ini, tersembunyi pula krisis kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian. Para petugas kebersihan dan pengelola sampah pahlawan tak terlihat yang setiap hari berhadapan dengan risiko kesehatan demi menjaga kebersihan lingkungan justru diperlakukan sebagai warga kelas dua. Mereka masih menerima upah di bawah standar kelayakan, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, dan minim perlindungan keselamatan kerja. Paradoks ini mempertanyakan keseriusan pemerintah: bagaimana mungkin sistem pengelolaan sampah diharapkan berjalan optimal ketika mereka yang menjadi tulang punggungnya diperlakukan tidak manusiawi?


Tragedi jebolnya TPA Sungai Penuh beberapa waktu lalu bukanlah kejadian terisolasi, melainkan kulminasi dari tahun-tahun kelalaian sistemik. Respons pemerintah yang reaktif baru bertindak setelah insiden menjadi viral dan tekanan publik menghimpit menunjukkan bahwa pengelolaan krisis masih berbasis citra, bukan berbasis pencegahan. Hingga saat ini, bahkan dokumen AMDAL yang menjadi fondasi legal operasional TPA pun masih berada dalam fase ketidakpastian. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikator fundamental betapa isu lingkungan masih belum ditempatkan sebagai prioritas strategis dalam agenda pembangunan daerah.


Himpunan Mahasiswa Kerinci Sungai Penuh (HMKS) Sumatera Barat mengkritisi paradigma "tunggu dan lihat" yang dianut pemerintah daerah. Sementara volume sampah terus bertambah tanpa jeda, kebijakan penanganannya masih tersendat dalam birokrasi yang rumit dan koordinasi lintas sektor yang lemah. Banyak desa dan kelurahan dibiarkan tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sampah secara mandiri. Padahal, dengan pendampingan yang tepat dan pemberdayaan komunitas lokal, inisiatif pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa menjadi solusi jangka pendek yang efektif sembari menanti infrastruktur skala besar terwujud.


Saat ini, yang dibutuhkan bukanlah tambahan dokumen kajian atau rapat koordinasi, melainkan aksi nyata yang terukur dan konsisten. Pemerintah daerah perlu mengalihkan fokus pada revitalisasi TPS3R yang sudah ada, menciptakan sistem insentif yang menarik bagi desa/kelurahan yang berhasil mengelola sampahnya secara mandiri, dan membentuk gugus tugas lintas pemangku kepentingan yang melibatkan unsur masyarakat, akademisi, dan aktivis lingkungan. Rangkaian tindakan konkret yang berkelanjutan jauh lebih bermakna dari pada menunggu proyek prestisius yang penuh ketidakpastian.


Statistik SIPSN 2022-2023 telah menyuarakan kegentingan, realitas lapangan memperlihatkan urgensi, dan kesabaran masyarakat semakin menipis kini saatnya pemerintah menunjukkan kepemimpinan yang berani dan visioner. Jika tidak, yang kita siapkan bukanlah masa depan berkelanjutan, melainkan warisan bencana ekologis bagi generasi mendatang. Pertanyaan kritisnya: akankah para pemimpin kita dikenang sebagai pelopor perubahan yang menyelamatkan lingkungan, atau sekadar figuran dalam sejarah yang membiarkan krisis sampah mengubur peradaban dan kesejahteraan masyarakatnya?


Sungai Penuh dan Kerinci sesungguhnya memiliki segala modal untuk mengatasi persoalan ini sumber daya manusia yang berpotensi, infrastruktur dasar yang bisa dikembangkan, dan tekanan publik yang bisa menjadi katalis perubahan. Yang masih absen hanyalah determinasi politik dan keberanian mengambil langkah terobosan. Karena sampah tidak pernah bernegosiasi atau memberikan tenggat waktu ia terus bertambah, mengendap, dan mengancam. Maka pertanyaannya sederhana namun menggugah: sampai kapan kita harus menunggu?