Hilirisasi Industri Tambang Kunci Indonesia Maju

 

Oleh: Rizki Alif Maulana

Wasekjend Eksternal PB HMI Periode 2021-2023

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah. Hilirisasi tambang menjadi strategi besar baru untuk reindustrialisasi, membuka peluang Indonesia berpartisipasi dalam rantai pasok global, tidak lagi sebagai pengekspor bahan mentah, tetapi juga produk manufaktur bernilai tambah tinggi.

Program Pertama yang dijalankan pemerintah adalah hilirisasi nikel sejak Januari 2020 dimana adanya pelarangan ekspor raw material nikel (bijih nikel) akan diperluas ke bauksit, timah, dan tembaga pada pertengahan 2023. Namun disatu sisi permasalahannya adalah hilirisasi nikel dilakukan secara terintegrasi bersifat padat modal maka hanya segelintir perusahaan pemegang kontrak karya (KK) yang mampu menanamkan modal.

Oleh karena itu saat ini pemerintah mendorong upaya investasi modal asing untuk industri tambang di Indonesia. Bahkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membeberkan bahwa total investasi pada hilirisasi komoditas pertambangan pada 2022 mencapai Rp 171,2 triliun, atau 14% dari total investasi keseluruhan sebesar Rp 1.200 triliun.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk tetap melanjutkan pelarangan ekspor bijih nikel patut diacungi jempol walaupun kalah gugatan pertama di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel. Bila hilirisasi komoditas (migas) terus berjalan, maka diproyeksikan bisa menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 699 miliar dan membuka lapangan kerja sebesar 8,8 juta. Tentu ini adalah kunci menuju Indonesia menjadi negara maju.

Tags