Tafsir Pak Harto Terhadap Supersemar, Menghancurkan Wibawa Dan Ajaran Bung Karno




Oleh : 

Arvindo Noviar (Ketua Umum Partai Rakyat) 


56 tahun yang lalu, 11 Maret 1966 menjadi hari yang begitu penting bagi sejarah Bangsa dan Negara Indonesia karena pasca 3 hari sebelumnya, 9 Maret 1966 Hasjim Ning dan Dasaad sebagai pengusaha yang dianggap dekat dengan Bung Karno gagal membujuk Bung Karno untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Pak Harto, 3 Jendral; M Jusuf, Amirmachmud, dan Basuki Rahmat menemui Bung Karno dan berhasil membuat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) diterbitkan. 


Walau sampai hari Ini kita tidak pernah menemukan bukti/arsip Supersemar yang asli dan autentik Indonesia hanya memiliki arsip Supersemar yang palsu, tetapi setidaknya kita bisa menyusun kepingan-kepingan sejarah yang masih tersisa pasca rezim Orde Baru berganti. 


"Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah" (jasmerah), itu adalah judul pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1966. 


Dalam pidatonya Bung Karno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah "transfer of sovereignty" dan bukan pula “transfer of authority" sama sekali bukan pengalihan kekuasaan. Selanjutnya ia tegaskan mengenai isi Surat Perintah 11 Maret 1966 sesungguhnya ialah berisi perintah Bung Karno kepada Pak Harto untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum, termasuk melakukan pengamanan; pribadi presiden, wibawa presiden dan ajaran presiden. 


Tetapi berkebalikan dengan apa yang dipidatokan Bung Karno 17 Agustus 1966, langkah pertama yang Pak Harto lakukan beberapa jam setelah mendapatkan mandat Supersemar ialah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 yang dibuat mengatasnamakan presiden dengan modal mandat Supersemar yang ditafsirkannya sendiri. 


Setelahnya Sarwo Edhi melakukan konvoi keliling bersama RPKAD, Kostrad, KAMI, Front Pancasila dan beberapa Ormas lainnya lalu menyebarluaskan salinan Supersemar dan Surat Pembubaran PKI. Bung Karno marah besar dan memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke Istana pada tanggal 14 Maret 1966. Dia menegaskan bahwa Supersemar tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI. 


Siapa saja yang membaca sejarah tentu paham mengapa Bung Karno bereaksi keras terhadap langkah yang diambil oleh Pak Harto. Karena mandat Supersemar itu termasuk juga diperintahkan kepada Pak Harto untuk menjaga wibawa dan ajaran presiden.


Di dalam buku berjudul penyambung lidah rakyat Bung Karno menceritakan kepada Cindy Adam, ketika Bung Karno remaja, di kala teman sejawatnya asik bermain, Bung Karno justru tenggelam bersama buku-buku, dan beberapa yang ia gemari ialah karya-karya dari Karl Marx. Tahun 1927 Bung Karno muda menulis Nasionalisme, Islamisme, Marxisme yang di kemudian hari berkembang menjadi gagasan politik bernama Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) yang selalu Bung Karno gaung-gaungkan sebagai 3 kekuatan besar yang jika disatukan akan menjadi suatu kekuatan progresif-revolusioner yang dahsyat untuk melawan kekuatan kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Artinya gagasan itu sudah tertanam sejak Bung Karno remaja dan dia pegang sampai akhir hayatnya. 


Tentu saja Bung Karno merasa Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 dan dipertajam oleh Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang isinya bukan hanya tentang pembubaran PKI, sekaligus juga melarang rakyat Indonesia untuk mengakses dan mempelajari komunisme bahkan di ruang akademik ialah langkah yang bukan saja meruntuhkan kewibawaan presiden tapi juga sekaligus menghancurkan ajaran yang selama ini dia tanam dan dia gaung-gaungkan. 


Dalam pidatonya di Istana Bogor pada 11 Desember 1965 secara eksplisit Beliau menyatakan kalau sepertiga bagian dari dirinya adalah Komunisme dan dengan tegas ia menyatakan bahwa Pancasila tidak anti Komunisme. Seorang penggagas, penggali dan pencetus Pancasila adalah perasan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.


Maka dalam kesempatan ini saya, Arvindo Noviar, Ketua Umum Partai Rakyat ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada seluruh Intelektual yang dituntut adil sejak dalam pikiran. 


1. Jika Bung Karno sebagai pencetus Pancasila ialah juga perasan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, apakah Pancasila dimungkinkan mengandung komunisme? 


2. Mungkinkah kami dan generasi setelah kami mampu mempelajari sejarah, terutama pemikiran Bung Karno tanpa mengetahui apa itu komunisme? 


3. Bukankah sesungguhnya Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 justru membelenggu kita untuk bisa mempelajari sejarah Bangsa dan Negara Indonesia secara holistik dan komperehensif? 


Karena bukan hanya Bung Karno, Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional dan Bapak Republik Indonesia ialah juga seorang Tokoh Komunis Internasional, termasuk juga Alimin seorang Pahlawan Nasional yang juga seorang tokoh komunis dll. 


Saya tidak sedang mencari siapa salah-siapa benar dalam lembaran gelap sejarah 1965-1966, bahkan saya menghindari untuk mengurai lebih dalam mengenai tragedi apa saja yang terjadi pra-pasca Supersemar itu diterbitkan. Saya hanya ingin rakyat Indonesia di kemudian hari mampu mempelajari sejarah Bangsa dan Negaranya dengan adil dan tanpa rasa takut. 


Bukankah rasa hayat sejarah dan akses terhadap sejarah Bangsa dan Negara Indonesia yang utuh yang kemudian mampu melahirkan rakyat-rakyat yang Pancasilais?.


Maka kami menilai Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sudah tidak lagi relevan. Komunisto-phobia bukan sikap yang ksatria. Silahkan hukumi siapapun yang terbukti melakukan upaya pemberontakan terhadap NKRI. Silahkan bubarkan PKI, DI/TII dsj. Tapi jangan halang-halangi rakyat untuk mengetahui sejarah yang sebenar-benarnya, seadil-adilnya. 


Dan saya, Arvindo Noviar, Ketua Umum Partai Rakyat mendorong kepada semua pihak, terutamanya Pemerintah untuk segera mencabut Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 demi merevitalisasi kembali Pancasila. 


Saya tutup uraian ini dengan mengutip penggalan pidato Bung Karno 17 Agustus 1966 yang tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi:


“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan lantas engkau menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya akan berupa amuk, amuk belaka! Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.”