![]() |
Penulis: Panji Oktaviansyah |
Kerisjambi.id-Seorang pemimpin daerah seharusnya menjadi wajah rakyatnya, mendengar suara yang paling lirih sekalipun, dan berdiri di garda depan ketika masyarakat kecil sedang berteriak meminta keadilan. Namun, yang kita saksikan dari kepemimpinan Al Haris justru sebaliknya: ia lebih tampak sebagai gubernur bagi para elit, bukan untuk rakyat Jambi secara keseluruhan.
Beberapa waktu lalu, demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat sipil di sekitar Kantor Pemerintahan Provinsi Jambi menjadi bukti nyata kekecewaan. Demonstrasi itu adalah ekspresi keresahan rakyat kecil yang merasa diabaikan. Sayangnya, alih-alih membuka ruang dialog, pihak pemerintah justru sama sekali tidak hadir untuk menyambut atau mendengarkan. Ketidakhadiran ini bukan hanya menunjukkan sikap abai, tetapi juga merendahkan martabat rakyat yang sudah berani turun ke jalan. Akibatnya, demonstrasi yang semestinya menjadi ruang aspirasi berubah ricuh, gedung dan kendaraan menjadi korban. Semua ini adalah konsekuensi dari kegagalan komunikasi pemerintah dengan rakyatnya.
Kegagalan Al Haris tidak berhenti di situ. Hingga hari ini, ia tidak pernah secara serius membuka ruang diskusi bersama aktivis, mahasiswa, maupun masyarakat bawah. Padahal, mereka adalah kelompok yang langsung bersentuhan dengan problematika di lapangan—mulai dari isu ketimpangan pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, hingga permasalahan kesejahteraan rakyat kecil. Ketertutupan ruang diskusi ini mempertegas jarak antara gubernur dengan masyarakatnya.
Sabtu (13/09/25) aksi penutupan jalan yang dilakukan masyarakat dikarenakan aktivitas stokpile yang menggangu aktivitas masyarakat sekitar, namun alih-alih hadir pada kesempatan tersebut ia malah di wakilkan oleh seorang pejabat teras. Tentu dengan kehadiran tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya kemana Gubernur Jambi? Hal tersebut sangat menguatkan bahwa gubernut jambi tidak pro terhadap masyarakat.
Lebih jauh lagi, program-program mega proyek yang digembar-gemborkan melalui skema multi years justru gagal membuahkan hasil. Ikon-ikon pembangunan yang dijanjikan tidak kunjung rampung. Apa yang diharapkan menjadi bukti kesuksesan malah menjadi monumen keterlambatan dan ketidakmampuan. Dari sini, publik bisa membaca bahwa arah pembangunan lebih condong kepada kepentingan kelompok elit—mereka yang punya akses modal, kekuasaan, dan keuntungan ekonomi—ketimbang kepada kebutuhan mendesak masyarakat kecil, seperti perbaikan infrastruktur dasar, kesehatan, dan pendidikan.
Seorang gubernur yang mengutamakan elit dan menutup diri dari dialog rakyat, pada hakikatnya sedang menjauhkan diri dari esensi kepemimpinan itu sendiri. Jika hal ini terus dibiarkan, maka jurang antara pemerintah dan rakyat akan semakin lebar.
Jambi tidak butuh gubernur pencitraan, Jambi butuh pemimpin yang turun ke bawah, yang tidak takut berdiskusi dengan mahasiswa, aktivis, dan rakyat kecil, serta pemimpin yang berani memprioritaskan kepentingan masyarakat dibanding kepentingan elit. Jika Al Haris tetap memilih jalannya sekarang, maka gelar “Gubernur Para Elit” akan menempel kuat pada dirinya—dan itu adalah catatan kelam bagi sejarah kepemimpinannya di Jambi.
Dalam kerangka kepemimpinan daerah, gubernur bukan sekadar pejabat administratif, melainkan simbol hadirnya negara di tengah masyarakat. Ia seharusnya menjadi telinga bagi rakyat kecil, tangan bagi penyelesaian persoalan, dan lidah yang berani menyuarakan keadilan. Namun yang terjadi di Jambi, kepemimpinan Al Haris justru menunjukkan pola yang berbeda. Ia tampak lebih akrab dengan kepentingan elit, sibuk dengan proyek-proyek besar yang setengah jadi, dan abai terhadap keresahan masyarakat bawah.
Label “Gubernur Para Elit” yang kini melekat pada Al Haris bukanlah tuduhan kosong, melainkan refleksi dari berbagai peristiwa nyata yang terekam di ruang publik dan media.
Media Bekabar.id bahkan menulis bahwa Al Haris “hilang dari peredaran” dan tidak tampak di lapangan. Absennya gubernur dalam momentum penting itu bukan sekadar masalah teknis, tetapi memperlihatkan krisis komunikasi politik dan defisit legitimasi sosial. Dalam teori Max Weber, legitimasi kepemimpinan lahir dari kepercayaan rakyat terhadap kesediaan pemimpin hadir dan mendengarkan. Ketika pemimpin justru menghindar, kepercayaan publik pun runtuh.
Akibatnya fatal: demonstrasi yang awalnya damai berubah ricuh, fasilitas publik rusak, kendaraan menjadi korban. Semua ini adalah konsekuensi dari kegagalan pemerintah membangun komunikasi dengan rakyatnya.
Analisis Pola Kegagalan
Jika dirangkum, kegagalan Al Haris bisa dipetakan dalam beberapa pola:
1. Krisis komunikasi politik – absen dalam demonstrasi, enggan berdialog dengan mahasiswa dan masyarakat sipil.
2. Kebijakan lemah dan timpang – masalah batubara tidak diselesaikan, rakyat tetap jadi korban.
3. Pembangunan mercusuar – mega proyek mangkrak, manfaat minim, anggaran raksasa.
4. Sikap elitis – ucapan dan orientasi kebijakan lebih berpihak pada elit ketimbang rakyat kecil.
Dalam perspektif good governance, tiga prinsip utama jelas gagal dipenuhi: participation (rakyat tidak dilibatkan), accountability (proyek tidak transparan), dan equity (pembangunan tidak adil)
Penutup: Rakyat Membutuhkan Pemimpin, Bukan Pencitraan
Seorang gubernur akan dikenang bukan karena berapa banyak proyek besar yang dicanangkan, tetapi sejauh mana ia berpihak pada rakyat kecil. Sayangnya, arah kepemimpinan Al Haris saat ini lebih menegaskan citra sebagai “Gubernur Para Elit.”
Jambi tidak butuh pemimpin yang sibuk dengan proyek mercusuar, melainkan gubernur yang hadir mendengar aspirasi rakyat, yang berani menegakkan aturan terhadap pengusaha nakal, dan yang konsisten memprioritaskan kebutuhan masyarakat dibanding kepentingan elit.
Jika Al Haris terus berjalan di jalur sekarang, maka sejarah hanya akan mencatatnya sebagai gubernur yang meninggalkan monumen mangkrak dan janji-janji kosong. Tetapi jika ia mau berbenah, membuka ruang dialog, dan mengembalikan arah pembangunan untuk rakyat kecil, masih ada kesempatan untuk mengubah catatan kelam itu.