KerisJambi.id - Di tengah lautan massa yang bergelombang, telah gugur seorang ojol (Affan), bukan karena peperangan, melainkan karena perjuangan mencari sesuap nasi. Kepergiannya bagai senja yang merenggut mentari, menyisakan langit kelabu tanpa pelangi. Dalam setiap helaan napas yang terhenti, kita menyaksikan sebuah ironi yang begitu menusuk.
Kematian ini bukan sekadar statistik, melainkan jeritan yang merobek, monumentum meneriaki keadilan pun sirna. Luka ini tak hanya dirasakan oleh keluarga ditinggalkan, tetapi juga oleh setiap hati nurani yang masih hidup. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah-wajah pemimpin acuh, sibuk dengan gemerlap takhta dan kekuasaan, hingga lupa pada janji-janji suci.
Di negeri yang konon bertabur jutaan pengikut Nabi Muhammad, kita menyaksikan sebuah pemandangan yang menyayat. Keteladanan sang Rasul yang mengajarkan tentang kasih, keadilan, dan kepemimpinan yang merangkul, kini bagai jejak kaki yang hilang ditelan badai.
Pemimpin hari ini seolah lupa bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak keistimewaan. Mereka lebih mencintai seruan puja-puji dari pada tangisan rakyat yang berteriak. Mereka hanya membangun tembok-tembok kekuasaan, ongkang kaki, bukan empati. Keadilan yang seharusnya ditegakkan dengan setulus hati, kini menjadi alat tawar-menawar politik dinasti. Seolah-olah, ajaran Nabi hanya menjadi hiasan bibir, dan bukan pedoman hidup lagi. Suara rakyat yang di hujani gas air mata bukanlah sekadar bisikan angin, melainkan gema dari lubuk hati yang terluka. K
Pemerintah harusnya membuka mata, bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk merasakan. Rakyat bukanlah bidak catur yang bisa dipindahkan sesuka hati, melainkan jiwa-jiwa yang haus akan keadilan. Jika pemerintah terus abai, maka simfoni nestapa ini akan terus mengalun, hingga tak ada lagi yang tersisa.
Pada akhirnya, setiap helai perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Maha Kuasa. Kekuasaan yang dinikmati hari ini, adalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Tak ada mahkota yang bisa menutupi dosa, tak ada harta yang bisa membeli ampunan.
Semoga para pemimpin kita menyadari bahwa mereka bukan hanya memimpin di dunia yang fana, melainkan juga sedang menapaki jalan menuju keabadian. Semoga mereka kembali pada fitrahnya sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai raja yang disembah. Karena, di sana, di hari perhitungan, tak ada lagi singgasana, tak ada lagi pengawal, yang ada hanyalah amal perbuatan yang menjadi saksi bisu.
Di tulis oleh : Mimi Fitria