![]() |
(Ilustrasi: Seorang Jurnalis Indonesia/Gambar oleh Redaksi Kerisjambi.id) |
"Kemerdekaan pers adalah salah satu tiang utama demokrasi. Tapi ingat, kemerdekaan itu bukan untuk menyerang, melainkan untuk membangun.”
-Bung Hatta
Pena yang Tidak Membelah, Tapi Menyatukan
Di tengah bisingnya zaman, di antara debur ombak informasi dan riuh debat tak berkesudahan, ada satu sosok yang terus melangkah dalam diam: jurnalis.
Mereka tidak menggenggam palu kekuasaan. Mereka tak menulis undang-undang, tak pula mengangkat senjata. Namun merekalah yang menjaga lentera menyala di tengah kabut negeri ini. Mereka menulis, merekam, memotret, dan menyampaikan—agar bangsa tak lupa arah, agar rakyat tak kehilangan suara.
Di balik setiap berita, tersimpan kepedulian. Di balik setiap reportase, terhampar tanggung jawab. Bukan untuk mencaci, melainkan untuk menyulam kemerdekaan dengan cinta dan kejujuran.
Jurnalis sejati bukan hanya menulis apa yang terlihat, tapi menangkap denyut nurani bangsa. Mereka tidak membelah. Mereka menyatukan.
Mengabarkan dengan Cinta, Bukan Curiga
Kemerdekaan pers bukanlah tiket untuk merusak. Ia adalah amanah untuk membangun. Sebab jurnalisme sejati bukan sekadar menyuarakan kritik, melainkan mengukir kepercayaan dalam bingkai kebenaran.
Di era di mana hoaks menjelma jadi senjata, dan disinformasi menyelinap ke dalam ruang-ruang privat, Jurnalis hadir sebagai pagar api membakar kabut dusta, dan menyalakan obor fakta.
Namun Jurnalis tak bisa berjalan sendiri. Mereka membutuhkan ruang aman, bukan tekanan. Mereka membutuhkan dialog, bukan penghakiman.
Dalam relasi yang sehat antara media, pemerintah, dan rakyat, terbentuk simfoni yang harmonis. Jurnalis menjadi mata dan suara rakyat. Pemerintah menjadi pelaksana aspirasi. Rakyat menjadi ruh dari segala kebijakan.
Sebagaimana disampaikan Presiden ke-7 RI Joko Widodo:
"Pers adalah mitra strategis pemerintah dalam menyampaikan informasi yang benar, menangkal hoaks, dan menjaga keutuhan bangsa.”
Kemitraan ini bukan sekadar slogan. Ia adalah nafas demokrasi yang hidup, di mana media menjadi jembatan, bukan jurang pemisah.
Menjadi Mata dan Nurani Bangsa
Jurnalis tidak hanya hadir di ruang redaksi. Mereka menjejak di jalan-jalan berlumpur, menembus desa terjauh, duduk bersama petani, nelayan, guru honorer, perawat di puskesmas kecil, dan anak-anak sekolah di lereng bukit.
Dari sana, mereka menggali cerita yang tak tertulis dalam statistik. Mereka merekam harapan yang tak pernah masuk dalam dokumen perencanaan pembangunan.
Mereka adalah mata bangsa yang menatap tanpa bias. Mereka adalah nurani bangsa yang bersuara ketika yang lain diam.
Ketika suara rakyat terbungkam, jurnalis menjadi pengeras suaranya. Ketika negara tersesat arah, Jurnalis menjadi peta yang mengingatkan.
Namun dalam demokrasi yang dewasa, jurnalis dan pemerintah bukan lawan. Mereka adalah rekan seperjalanan dalam misi yang sama: Indonesia yang adil, merdeka, dan tercerahkan.
Menjaga Kemerdekaan, Meneguhkan Persatuan
Kemerdekaan bukanlah hadiah abadi. Ia adalah tugas yang terus-menerus. Ia adalah taman yang harus disiram, dijaga, dan dilindungi dari hama kebencian dan polarisasi.
Jurnalis hadir sebagai penjaga nilai, bukan sebagai hakim. Mereka tidak menyulut api permusuhan, melainkan meredamnya dengan kebijaksanaan.
Ketika dunia tergoda pada sensasi dan provokasi, Jurnalis Indonesia mesti memilih berdiri di jalur etika. Mereka tak memihak pada hiruk-pikuk, melainkan berpihak pada kebenaran dan keutuhan bangsa yang telah 80 tahun merdeka ini.
Mereka berdiri bersama rakyat, tapi tidak melawan pemerintah, melainkan memberi pesan cinta. Karena mereka tahu:
Negara ini dibangun oleh gotong royong, bukan oleh kebencian.
Dirawat dengan dialog, bukan dendam.
Dan disatukan oleh cinta tanah air, bukan rasa curiga.
Selama Cahaya Itu Dijaga, Indonesia Tak Akan Gelap
Jurnalis adalah cahaya kecil yang menyala di setiap sudut negeri.
Pemerintah adalah tangan yang membangun jalan untuk cahaya itu menjangkau lebih jauh.
Dan rakyat adalah mata yang menatap masa depan dengan harapan.
Jika ketiganya berjalan bersama dalam saling percaya, saling mendengar, dan saling membangun maka tak ada badai informasi yang bisa memadamkan api kemerdekaan.
“Jika engkau ingin melihat wajah bangsa di masa depan, lihatlah bagaimana jurnalisnya menulis hari ini.”
Dan selama para jurnalis Indonesia itu masih menjaga cahayanya,maka semoga Indonesia tak akan pernah gelap.
Semua harus bersinergi, semua harus bersatu.
Selamat merayakan hari kemerdekaan,17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025! Belum terlambat bagi kita untuk merajut tali persatuan.
Kota Jambi, 6 Agustus 2025.
Tulisan Halim Adrian Putra,
Dipublikasikan dalam rangka mengikuti lomba karya tulis ilmiah yang diadakan PWI kota Jambi.