JBC Sarat Masalah: KAMMI Kota Jambi Desak Transparansi dan Kajian Ulang

   

Kotajambi.id - Azizul Putra Ketua Kebijakan Publik KAMMI Kota Jambi menyoroti Proyek Jambi Business Center (JBC) yang berlokasi di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, saat ini tengah menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerhati pembangunan daerah. Awalnya, JBC dirancang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mampu mendorong kemajuan dan meningkatkan kesejahteraan warga Kota Jambi. Namun, seiring berjalannya waktu, proyek ini justru menimbulkan beragam kontroversi serius yang meliputi berbagai aspek penting. Mulai dari persoalan agraria yang menyangkut penguasaan dan pengelolaan lahan, risiko hilangnya aset daerah akibat mekanisme Build-Operate-Transfer (BOT) yang kurang transparan dan berpotensi merugikan pemerintah, hingga dampak lingkungan yang signifikan berupa peningkatan banjir di wilayah sekitar. Selain itu, kemacetan lalu lintas yang semakin parah di kawasan sekitar JBC juga menambah beban masyarakat, memperburuk kualitas hidup, dan menghambat aktivitas ekonomi di kota ini. Kondisi ini menuntut perhatian dan tindakan serius dari semua pihak demi memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan adil bagi seluruh warga Kota Jambi


Dampak Lingkungan dan Sosial

Saat kawasan resapan dikorbankan, air hujan kehilangan tempat untuk meresap. Akibatnya, limpasan permukaan meningkat drastis. Data dari pengukuran tidak resmi warga di sekitar RT 09 dan RT 11 menyebutkan bahwa ketinggian banjir yang sebelumnya hanya sebatas mata kaki kini mencapai 50–70 cm saat hujan deras, bahkan bisa lebih tinggi jika bersamaan dengan pasang air sungai.


Resapan Air yang Hilang = Banjir yang Naik

Padahal, jika fungsi ekologis kawasan itu dijaga — yakni sebagai urban sponge — Kota Jambi bisa terhindar dari puluhan miliar kerugian akibat banjir tiap tahun. Alih-alih mengoptimalkan ruang hijau, pemerintah justru mengalihfungsikan kawasan rawan genangan ini menjadi pusat bisnis tanpa perhitungan ekologis jangka panjang.


Karena adanya pembangunan JBC, kawasan mereka sering mengalami banjir setiap hujan deras mengguyur. Sebab pembangunan itu tidak jauh dari lokasi permukiman rumah warga sekitar dengan ketinggian banjir rata-rata 50 cm yang merendam rumah dan bahkan aliran airnya bisa masuk ke mall jamtos.


Setelah mendapat kritik dari berbagai pihak terkait dugaan pelanggaran dokumen lingkungan. Pengelola Jambi Business Center (JBC) akhirnya buka suara. Komisaris JBC, Syahrasaddin menegaskan bahwa pihaknya telah membangun kolam retensi sesuai ketentuan yang berlaku dan kini sedang dalam proses perbaikan.


Menurutnya, kolam retensi yang ada saat ini sudah mampu menampung air dari beberapa titik penting di Jambi, seperti Sungai Kambang, Tugu Juang, dan Simpang Tiga Mayang. Bahkan luas kolam retensi yang dibangun melebihi standar yang ditetapkan dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).


"Kolam retensi ini memiliki panjang 78 meter, lebar 14 meter dan kedalaman dua meter. Kami membangun sesuai dengan permintaan DPRD dan Pemerintah Provinsi Jambi agar dapat berfungsi secara maksimal." tambahnya.


Azizul mengkritisi pernyataan yang diberikan oleh pihak JBC hanya untuk meredam isu yang beredar tentang dampak nyata dari pembangunan gedung JBC. Karena pada faktanya kolam yang disebutkan itu sampai sekang belum sepenuhnya berfungsi. Azizul juga menegaskan bahwa dalam merancang sistem drainase dan kanal dengan menggunakan metode yang lama sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Seharusnya pemerintah kota menggunakan acuan perhitungan hidrologi berdasarkan periode ulang, seperti periode 5 tahunan, 10 tahunan, bahkan 25 tahunan.


Isu Agraria dan Penggunaan Lahan

Proyek Jambi Business Center (JBC) merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jambi dan PT Putra Kurnia Properti melalui skema Build Operate Transfer (BOT) kembali menjadi sorotan tajam. Penandatanganan perjanjian yang dilakukan pada 9 Juni 2014 itu dinilai mengandung celah hukum yang berpotensi menyebabkan hilangnya aset strategis daerah.


Dalam perjanjian tersebut, Pemerintah Provinsi Jambi menyerahkan tanah seluas 76.750 meter persegi yang bersertifikat Hak Pakai kepada pihak pengembang sebagai bentuk kontribusi dalam pembangunan kawasan komersial JBC. Sebagai gantinya, pihak pengembang memperoleh Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun hingga 2044.


Secara yuridis HGB yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik pemerintah memberikan hak kepada pengembang untuk membangun, menjual unit, hingga mengalihkan atau mengagunkan aset pada pihak ketiga. Hal ini diperkuat oleh Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai.


Namun di balik skema ini, terdapat resiko besar. Jika pengembang mengalami gagal bayar atau wanprestasi terhadap kewajiban kredit, maka bukan tidak mungkin tanah dan bangunan yang awalnya merupakan aset publik bisa jatuh ke tangan kreditor atau pihak ketiga melalui pelelangan. Hak atas tanah pun menjadi rentan tergeser padahal seharusnya tetap menjadi milik negara.


Lebih lanjut HGB bisa diperpanjang atau diperbarui atas permohonan pengembang dengan persetujuan dari pemegang HPL. Artinya meskipun jangka waktu BOT berakhir pada 2044 tidak ada jaminan otomatis bahwa lahan tersebut akan langsung kembali ke pemerintah dalam keadaan bersih dari kepemilikan atau sengketa.


Kondisi ini semakin kompleks jika mengacu pada praktik di lapangan. Dalam proses jual beli unit komersial kepada konsumen, seringkali status hak tidak dijelaskan secara utuh. Konsumen awam menganggap bahwa pembelian unit berarti hak milik penuh padahal yang diperoleh adalah SHGB yang bersifat temporal, bukan SHM (Sertifikat Hak Milik). Tugas notaris seharusnya menjelaskan secara rinci mengenai hak atas tanah sebelum Akta Jual Beli (AJB) ditandatangani. Namun hal itu sering luput atau disederhanakan dalam praktiknya.


Dari sisi pelaksanaan, dokumen perjanjian BOT juga memuat ketentuan bahwa pembangunan JBC harus diselesaikan dalam waktu maksimal 60 bulan sejak perjanjian berlaku. Namun, hingga satu dekade berlalu belum ada evaluasi publik yang menunjukkan apakah target tersebut tercapai sesuai jadwal atau tidak serta apa sanksi yang diberlakukan atas keterlambatan.


Melihat situasi ini sejumlah pegiat hukum dan kebijakan publik menyarankan agar perjanjian BOT JBC ditinjau ulang secara menyeluruh. Fokus peninjauan meliputi keabsahan legal standing para pihak, nilai kompensasi aset, mekanisme pengembalian aset pasca-BOT, serta perlindungan jangka panjang terhadap kepemilikan publik.


Infrastruktur Tidak Sesuai,

Simpang Mayang, yang menjadi akses utama menuju Jambi Business Center (JBC) kini menghadapi masalah kemacetan yang semakin parah. Kawasan yang seharusnya dapat menjadi pusat pengembangan ekonomi ini justru terjebak dalam kepadatan lalu lintas yang menghambat mobilitas masyarakat dan aktivitas bisnis.



Data resmi dari Dinas Perhubungan Kota Jambi mencatat bahwa pada tahun 2022 jumlah kendaraan yang terdaftar telah mencapai 901.118 unit. Angka ini bahkan melampaui total penduduk Kota Jambi yang hanya sekitar 619.600 jiwa. Kondisi ini menegaskan bahwa volume kendaraan yang melintas setiap hari telah melampaui kapasitas ruas jalan yang ada. Khususnya di Simpang Mayang yang menjadi titik utama arus kendaraan menuju JBC.


Sejak beroperasinya JBC volume kendaraan di kawasan ini meningkat drastis hingga 40% terutama pada jam sibuk pagi sekitar pukul 07.00-09.00 dan sore sekitar pukul 16.00-18.00. Lonjakan tersebut disebabkan oleh aktivitas bisnis dan perkantoran di JBC yang menarik ribuan kendaraan setiap hari. Namun kapasitas jalan yang hanya mampu menampung sekitar 70% kebutuhan lalu lintas membuat kendaraan menumpuk dan antre panjang di persimpangan utama, yang berujung pada kemacetan kronis.


Ironisnya meskipun ada lonjakan signifikan dalam volume lalu lintas. Pemerintah daerah belum melakukan langkah strategis yang memadai untuk mengatasi masalah ini seperti tidak adanya pembangunan flyover, pelebaran jalan, ataupun manajemen lalu lintas yang terintegrasi dan efektif. Situasi ini berpotensi memperparah kemacetan dan menurunkan kualitas hidup masyarakat Jambi khususnya.


Azizul menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah harus mengutamakan penyelesaian persoalan mendasar ini. "Seharusnya pemerintah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur krusial seperti flyover di Simpang Mayang agar bisa mengurai kemacetan parah yang terjadi" ujar Ketua Kebijakan Publik KAMMI Kota Jambi dan Azizul menambahkan "Dalam Membangun proyek besar seperti JBC tanpa didukung perencanaan pembangunan dan transportasi yang matang hanya akan menambah beban kota. Ini ibarat menumpuk masalah baru di atas masalah lama yang belum terselesaikan."


Lebih lanjut, Azizul mengingatkan bahwa setiap proyek pembangunan harus didasarkan pada kajian yang komprehensif dan diiringi langkah-langkah mitigasi yang konkrit. "Bukan hanya membangun tetapi tidak diiringi dengan perhitungan yang jelas sehingga menghabiskan dana yang besar dan akhirnya justru masyarakat Jambi yang menanggung akibat buruknya pengelolaan tersebut" tegasnya.


Dari berbagai pengalaman kota besar yang menghadapi persoalan kemacetan yang serupa. Penerapan flyover dan pengembangan sistem transportasi terintegrasi telah terbukti mampu mengurangi kepadatan lalu lintas hingga 30-50%. Pemerintah harus segera merumuskan solusi nyata dan prioritas pembangunan yang tepat sehingga tidak menambah daftar masalah yang ada dengan mengabaikan masalah di sektor transportasi.


Jika masalah kemacetan ini tidak segera ditangani dengan serius, bukan hanya mobilitas yang terganggu tetapi juga produktivitas ekonomi, kesehatan masyarakat akibat polusi udara hingga citra Kota Jambi sebagai daerah yang siap menghadapi modernisasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan terancam.


Oleh karena itu, pembangunan JBC yang diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi harus diimbangi dengan kesiapan infrastruktur pendukung yang memadai agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Jambi.