Kerisjambi.id-Jambi-Kasus Audila Putry Sahara kembali membuka mata publik bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)—termasuk kekerasan emosional akibat perselingkuhan—tidak lagi bisa dianggap sebagai persoalan privat. Pengkhianatan yang menimbulkan luka psikologis mendalam merupakan pelanggaran serius yang memerlukan intervensi negara melalui mekanisme hukum yang adil.
Penasihat hukum korban, Elas Anra Dermawan, SH, menegaskan bahwa banyak perempuan yang mengalami situasi serupa justru dipaksa untuk “sabar” dan menerima demi menjaga keutuhan keluarga. Padahal, dalam kenyataannya, mereka berada dalam kondisi mental dan sosial yang sangat terpuruk. Ia menilai aparat penegak hukum harus lebih progresif dalam menangani kasus-kasus seperti ini, termasuk membuka jalur mediasi yang tidak membebani korban serta memastikan proses peradilan tidak menyudutkan perempuan.
“Korban tidak boleh dipaksa pasrah atas kekerasan emosional. Negara harus hadir sepenuhnya,” tegas Elas.
Ia menambahkan, praktik perselingkuhan yang berujung pada tekanan mental, isolasi emosional, hingga hilangnya martabat korban harus dipandang sebagai bagian dari spektrum kekerasan yang dapat ditindak berdasarkan undang-undang. Karena itu, korban harus diberi ruang untuk mendapatkan keadilan tanpa rasa takut, malu, atau terintimidasi.
Negara Harus Hadir, Bukan Mengimbau Sabar
Kasus Audila Putry Sahara bukan sekadar persoalan rumah tangga. Ini adalah alarm moral bahwa penegakan hukum terkait perlindungan perempuan dan keluarga masih rapuh. Tidak boleh lagi ada perempuan yang menjadi korban pengkhianatan lalu diminta diam demi “keutuhan rumah tangga”. Keluarga yang sehat hanya dapat dibangun di atas rasa aman, penghargaan, dan perlindungan yang setara bagi setiap anggota.
Dalam konteks ini, negara tidak boleh terus bersembunyi di balik dalih “itu urusan domestik”. Negara wajib hadir sebagai pelindung warganya terutama perempuan yang rentan mengalami kekerasan emosional, ekonomi, maupun psikologis.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap korban berhak atas perlindungan hukum dan perlakuan yang adil. Negara, melalui aparat dan sistem hukumnya, tidak boleh lagi gagal menjalankan amanah tersebut. (*Opini)
