PEMAKNAAN KONSTIUSI BAGI MASYARAKAT


 Penulis: Thomfi Loho, Mahasiswa Magister UNJA

Kerisjambi.id-OPINI- Konstitusi dalam konteks Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimaknai sebagai hukum dasar yang mengatur tata kelola negara, melindungi hak-hak warga negara, serta mencerminkan cita-cita dan identitas bangsa. Konstitusi tidak hanya hadir sebagai aturan yang membatasi kekuasaan pemerintah, melainkan juga sebagai pedoman penyelenggaraan negara yang stabil. Melalui prinsip konstitusionalisme, konstitusi menjadi instrumen untuk mewujudkan nilai-nilai luhur bangsa, menjaga keteraturan, dan mengarahkan penyelenggaraan negara ke arah yang sesuai dengan cita-cita nasional.


Secara substantif, konstitusi merupakan hukum dasar yang disusun secara sistematis untuk mengatur pokok-pokok struktur dan fungsi lembaga negara, kewenangan, serta batasannya. Hal ini berarti bahwa konstitusi tidak hanya mengatur relasi antara rakyat dengan negara, tetapi juga menjadi pedoman bagi para penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Bagi rakyat, konstitusi menjadi payung hukum yang melindungi hak-hak mereka, memberikan kepastian dalam kehidupan bernegara, serta memastikan agar kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang.


Dengan demikian, konstitusi mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi dasar kolektif untuk mencapai tujuan bersama, yaitu keadilan, ketertiban, kemerdekaan, dan kesejahteraan masyarakat.Konstitusi memiliki arti penting khususnya dalam negara yang menganut sistem hukum tertulis, seperti Indonesia. Dalam sistem demikian, konstitusi berfungsi sebagai hukum tertinggi yang menjadi rujukan utama bagi seluruh peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya konstitusi, penyelenggaraan negara akan kehilangan arah dan rawan penyalahgunaan kekuasaan. Lebih jauh, konstitusi juga berfungsi mengakomodasi kepentingan rakyat, misalnya melalui pengaturan tentang jaminan pendidikan, pelayanan kesehatan, serta kesejahteraan sosial yang harus dihadirkan oleh negara.


Secara historis, istilah “konstitusi” berasal dari tradisi hukum kanonik, yang kemudian berkembang dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Prancis melalui istilah constituer, yang berarti membentuk, khususnya membentuk negara. Oleh sebab itu, dalam pandangan teoretis, konstitusi sering dianggap lahir lebih dahulu dibandingkan negara. Meskipun dalam praktiknya hal ini tidak selalu demikian, gagasan tersebut memperlihatkan bahwa konstitusi memiliki kedudukan fundamental dalam pembentukan dan keberlangsungan suatu negara.


Sejumlah ahli memberikan definisi yang memperkaya pemahaman tentang konstitusi. E. C. S. Wade mendefinisikan konstitusi sebagai naskah dasar yang menjelaskan kerangka dan tugas pokok badan pemerintahan serta cara kerjanya. K. C. Wheare menekankan bahwa konstitusi merupakan aturan hukum yang menetapkan kerangka dasar suatu negara dan mengatur susunan pemerintahannya. Hans Kelsen mengartikannya sebagai hukum tertinggi dalam sistem hukum nasional, sementara John Pieres memiliki pandangan serupa dengan menyebut konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur penyelenggaraan negara sekaligus membatasi kekuasaan. Pandangan ini menegaskan bahwa konstitusi bukan hanya kumpulan norma, melainkan instrumen hukum yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan kepentingan rakyat.


Dalam konteks Indonesia, konstitusi juga berkaitan erat dengan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus identitas nasional. Bagi masyarakat, konstitusi adalah wujud kesepakatan kolektif untuk hidup bersama dalam bingkai negara, dengan jaminan perlindungan hak-hak fundamental serta penegakan keadilan sosial. Konstitusi tidak hanya berlaku bagi rakyat, tetapi juga menjadi rambu etis dan yuridis yang wajib dipatuhi oleh penyelenggara negara. Dengan demikian, konstitusi berfungsi sebagai sumber norma hukum dan etika bernegara yang menjamin agar tujuan negara dapat diwujudkan secara konsisten.


Pandangan Jimly Asshiddiqie memberikan dimensi yang lebih luas mengenai konstitusi. Menurutnya, konstitusi tidak hanya dipahami sebagai dokumen tertulis, tetapi juga meliputi praktik ketatanegaraan yang hidup dalam masyarakat (living constitution). Konstitusi memiliki tiga sifat utama, yaitu normatif, sosiologis, dan politis. Secara normatif, konstitusi berlaku sebagai aturan hukum tertinggi yang mengikat semua pihak. Secara sosiologis, konstitusi hidup dan dijalankan dalam praktik sehari-hari. Secara politis, konstitusi berfungsi sebagai kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah yang terwujud dalam bentuk pactum unionis dan pactum subjectionis. Dengan demikian, konstitusi memiliki legitimasi tidak hanya secara hukum, tetapi juga sosial dan politik.


Lebih jauh, Jimly menekankan bahwa konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan, menjamin perlindungan hak asasi manusia, serta menjaga keseimbangan antara hak rakyat dan kewenangan negara. Selain itu, konstitusi juga mengatur struktur organisasi negara, pembagian dan pembatasan kekuasaan antarlembaga, serta mekanisme kerja pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi memiliki peran sentral dalam menjaga keutuhan bangsa dan mengarahkan jalannya pemerintahan.

Bagi masyarakat, konstitusi seharusnya tidak hanya dipahami sebagai teks hukum tertinggi, melainkan juga sebagai instrumen nyata yang melindungi kehidupan warga negara. Konstitusi adalah kontrak sosial yang mengikat seluruh elemen bangsa, di mana rakyat ditempatkan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyat tidak boleh diposisikan hanya sebagai objek dari aturan konstitusi, tetapi harus menjadi subjek yang berhak menafsirkan, mengawal, dan merasakan manfaat dari konstitusi itu sendiri.


Oleh karena itu, konstitusi bagi masyarakat idealnya hadir sebagai jaminan perlindungan hak asasi, kepastian hukum, serta akses yang adil terhadap keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Konstitusi lahir dari aspirasi rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Apabila konstitusi hanya berhenti pada aspek formal tanpa dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari, maka keberadaannya akan kehilangan makna substantif.Dalam kerangka tersebut, pemaknaan konstitusi bagi masyarakat harus diarahkan pada pemberdayaan rakyat. Masyarakat perlu didorong untuk memahami hak dan kewajibannya yang diatur dalam konstitusi, sekaligus berpartisipasi aktif mengawal jalannya pemerintahan agar tetap sesuai dengan prinsip konstitusionalisme. Dengan cara ini, konstitusi benar-benar berfungsi sebagai alat pembatas kekuasaan dan sebagai payung hukum yang menjamin terwujudnya cita-cita keadilan, kesejahteraan, serta persatuan bangsa.