Penulis: Thomfi Loho, Mahasiswa Magister Fakultas Hukum Unja
Kerisjambi.id- Opini- Dinamika pembentukan hukum di Indonesia merupakan proses panjang yang dipengaruhi oleh hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat (Belanda), dimulai dari masa kerajaan, masa kolonial, hingga masa kemerdekaan dan reformasi. Periode ini ditandai dengan transisi dari aturan lokal seperti hukum adat menjadi sistem hukum kolonial, lalu adaptasi dan pengembangan hukum nasional pasca-kemerdekaan berdasarkan UUD 1945, yang terus mengalami pembaruan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan masyarakat.
Seperti telah dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat), yang dalam Perubahan UUD 1945 penjelasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum sangatlah bernilai konstitutif kemudian ditegaskan ke dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam Perubahan UUD 1945 inilah tidak disebutkan lagi bahwa Indonesia menganut konsep Rechtsstaat namun lebih diterjemahkan kedalam konsep negara hukum. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep negara hukum yang sesungguhnya dianut oleh Indonesia pasca Perubahan UUD 1945, apakah itu Rechtsstaat ataukah the Rule of Law (?)Pertanyaan yang muncul dan tidak kalah penting juga adalah apakah sebelum dilakukannya Perubahan UUD 1945 negara Indonesia memang benar-benar sepenuhnya menganut konsep Rechtsstaat (?). Untuk dapat mengetahui apakah konsep negara hukum yang sebenarnya dianut oleh negara Indonesia adalah dengan melihat pada Pembukaan dan Pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai keseluruhan sumber politik hukum Indonesia. Pembentukan hukum di Indonesia tidak pernah berjalan dalam ruang hampa. Ia selalu dipengaruhi oleh kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada setiap zamannya. Dinamika ini memperlihatkan bagaimana hukum sering kali menjadi refleksi dari perjalanan bangsa, sekaligus cermin tarik-menarik kepentingan antara negara dan masyarakat. Pada masa kolonial, hukum di Indonesia dirancang bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk mengamankan kepentingan penjajah. Dualisme hukum yang membedakan antara warga Eropa, Timur Asing, dan pribumi menunjukkan diskriminasi sistematis. Warisan kolonial inilah yang hingga kini masih menyisakan pengaruh kuat, terlihat dari masih digunakannya beberapa peraturan perundang-undangan peninggalan Belanda.Pasca kemerdekaan, harapan besar untuk membangun sistem hukum nasional mulai menguat. Namun, keterbatasan sumber daya dan kompleksitas transisi membuat hukum kolonial tetap dipakai. Pada era Demokrasi Terpimpin, hukum justru cenderung dijadikan alat kekuasaan. Presiden memiliki kewenangan yang begitu dominan dalam pembentukan peraturan, sehingga hukum kehilangan perannya sebagai pelindung keadilan dan lebih berfungsi sebagai legitimasi politik.
Orde Baru kemudian menampilkan wajah hukum sebagai instrumen stabilitas dan pembangunan. Pemerintah kala itu mengedepankan politik hukum yang sentralistik. Hukum dibuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kekuasaan, tetapi mengorbankan prinsip kebebasan serta demokrasi. Banyak produk hukum yang lahir di era ini sarat dengan kepentingan penguasa, sehingga rakyat sering kali menjadi pihak yang dirugikan.
Reformasi 1998 membuka babak baru. Amandemen UUD 1945 menegaskan prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, serta perlindungan hak asasi manusia. Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi menjadi langkah maju yang signifikan. Mekanisme pembentukan undang-undang pun lebih terbuka melalui keterlibatan DPR, Presiden, dan partisipasi masyarakat. Secara formal, hukum kini diarahkan untuk lebih demokratis dan akuntabel.
Namun, dinamika pembentukan hukum hari ini masih menyimpan banyak catatan kritis. Proses legislasi sering kali tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara utuh. Banyak undang-undang yang lahir dalam waktu singkat tanpa diskusi publik yang memadai. Selain itu, kepentingan politik praktis masih sangat kental dalam menentukan arah politik hukum. Akibatnya, produk hukum terkadang lebih mencerminkan kompromi elite daripada kebutuhan masyarakat luas.
Bahwa untuk mewujudkan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Maka telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada tanggal 16 Juni 2022.
Metode Omnibus Law merupakan metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan:
1. Memuat materi muatan baru;
2. Mengubah materi muatan yang memiliki keterikatan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau
3. Mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan pertisipasi masyarakat yang bermakna dapat diwujudkan melalui pemenuhan hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyampaian masukan dapat dilakukan secara daring dan/atau luring. Oleh karena itu, masyarakat yang merupakan perorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan, diberikan kemudahan dalam mengakses Naskah akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, pemrakarsa Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik sebagaimana Pasal 96 ayat (6) melalui:
1. rapat dengar pendapat umum;
2. kunjungan kerja;
3. seminar, lokakarya, diskusi; dan/atau
4. kegiatan konsultasi publik lainnya.
Hasil kegiatan konsultasi publik tersebut nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Dinamika pembentukan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh proses legislasi yang kompleks, di mana kepentingan politik dan aspirasi masyarakat seringkali tidak sejalan. Meskipun ada prosedur yang baku meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan, tantangan muncul dari lambatnya proses, minimnya partisipasi publik, serta isu kualitas SDM lembaga legislatif. Selain itu, faktor ekonomi, sosial, dan budaya hukum masyarakat turut membentuk respons pemerintah terhadap kebutuhan regulasi yang dinamis.
Dinamika pembentukan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, ekonomi, budaya, serta perkembangan global. Sejak era reformasi, proses pembentukan hukum mengalami perkembangan ke arah yang lebih demokratis, transparan, dan partisipatif, namun masih menghadapi persoalan seperti tumpang tindih regulasi, disharmonisasi, dan lemahnya implementasi. Keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjadi landasan normatif penting, meskipun dalam praktiknya masih sering terdapat kepentingan politik yang lebih dominan dibandingkan asas keadilan dan kepastian hukum.
Penguatan Kelembagaan Lembaga pembentuk undang-undang, baik legislatif maupun eksekutif, perlu memperkuat kualitas legislasi melalui perencanaan yang matang, harmonisasi antarperaturan, serta peningkatan kapasitas penyusunan naskah akademik. Partisipasi Publik Diperlukan ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses pembentukan hukum agar produk hukum benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Transparansi dan Akuntabilitas Proses legislasi harus terbuka, akuntabel, serta mengurangi praktik transaksional dan politisasi hukum.