
Oleh : Ellas Annra Dermawan S.H (Founder Kajian Politik dan Bantuan Hukum jambi).
Kerisjambi.id-Polemik stockpile batubara PT SAS di Jambi bukanlah sekadar masalah teknis penumpukan material, melainkan cerminan kegagalan struktural Pemerintah Daerah dalam menegakkan kedaulatan hukum di hadapan modal korporasi besar. Ketika debu batubara menutup jalan dan mencemari sungai Batanghari, pertanyaan fundamentalnya adalah: Apakah hukum lingkungan dan tata ruang di Indonesia sudah berubah menjadi komoditas yang harganya ditetapkan oleh korporasi?
Celah Hukum dan Lisensi Berpolusi
Analisis hukum menunjukkan bahwa akar masalah utama terletak pada inkonsistensi regulasi daerah. Izin pertambangan mungkin dikeluarkan di tingkat pusat, tetapi izin operasional dan kesesuaian tata ruang—yang merupakan domain Pemda—seringkali menjadi titik lemah.
Stockpile PT SAS yang bermasalah, jika terbukti melanggar RTRW atau menyalahi implementasi Amdal, menunjukkan bahwa dokumen legal telah dikalahkan oleh praktik lapangan. Seolah-olah, ada asumsi di kalangan korporasi bahwa selama mereka memiliki dokumen perizinan, dampak negatif apa pun yang ditimbulkan dapat diselesaikan di meja negosiasi atau pengadilan perdata. Ini adalah esensi dari "Lisensi Berpolusi Berbayar."
Jerat Hukum Tumpul: Mengapa Sanksi Pidana Gagal?
Secara hukum, perusahaan seperti PT SAS dapat dijerat dengan sanksi triple: Administratif (pencabutan izin), Perdata (gugatan ganti rugi), dan Pidana (UU Lingkungan Hidup).
Namun, realitasnya, sanksi yang paling sering diterapkan hanya sebatas administratif atau ganti rugi perdata yang nominalnya kecil dibandingkan dengan keuntungan korporasi. Sanksi Pidana Lingkungan, yang memiliki efek jera tinggi, hampir selalu tumpul.
Mengapa? Karena sanksi pidana memerlukan keberanian politik dan independensi penegak hukum yang kuat untuk menembus tirai korporasi besar dan menerapkan doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Kegagalan menerapkan sanksi pidana mengirimkan sinyal berbahaya: polusi besar-besaran adalah risiko bisnis yang terjangkau, bukan kejahatan lingkungan yang serius.
Jalan Keluar: Kedaulatan Hukum Daerah
Satu-satunya solusi untuk memutus lingkaran setan ini adalah merebut kembali kedaulatan hukum.
Prioritas Pencabutan Izin: Pemerintah Daerah Jambi harus menggunakan kewenangan administrasi dan tata ruangnya secara tegas, menjadikan pencabutan izin sebagai sanksi utama, bukan sanksi alternatif.
Gugatan Warga: Masyarakat Jambi harus didorong dan difasilitasi untuk mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok untuk menuntut kerugian perdata dan memaksa Pemda bertindak.
Harmonisasi Tegas: Peraturan Daerah (Perda) harus segera direvisi untuk secara eksplisit melarang atau membatasi aktivitas stockpile yang mengganggu kepentingan publik dan mengharmonisasi sanksi dengan UU Lingkungan Hidup.
Jika penegakan hukum terus lemah, maka stockpile batubara PT SAS di Jambi akan menjadi monumen pahit yang membuktikan bahwa di Indonesia, hukum dapat dibeli dan lingkungan hidup dapat dijual kepada penawar tertinggi.