Disharmoni Komunikasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah


 Opini: Paskalina Huby (Mahasiswi Fakultas Hukum UNJA) 


Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses fundamental dalam interaksi manusia yang berfungsi untuk menyampaikan gagasan, pesan, serta informasi dari satu pihak kepada pihak lainnya. Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio yang bermakna “membuat sesuatu menjadi milik bersama”, dengan akar kata communis yang berarti “kesamaan”. Oleh sebab itu, komunikasi tidak semata-mata dipahami sebagai aktivitas penyampaian pesan, melainkan juga sebagai suatu upaya untuk membangun kesamaan makna dan pemahaman antara komunikator dan komunikan.


Dalam ranah ilmiah, komunikasi dipandang sebagai instrumen esensial dalam membangun relasi sosial, menyatukan persepsi, serta mewujudkan kerja sama pada berbagai aspek kehidupan. Melalui komunikasi, individu maupun kelompok dapat menyelaraskan tindakan, mengoordinasikan aktivitas, serta meminimalisasi potensi terjadinya kesalahpahaman. Pada tingkat organisasi maupun pemerintahan, komunikasi berperan sebagai sarana koordinasi, mekanisme pengendalian, serta instrumen untuk menyatukan arah kebijakan agar tujuan bersama dapat tercapai secara lebih efektif dan efisien.


Dengan demikian, komunikasi memiliki makna substantif sebagai suatu proses pertukaran pesan yang berorientasi pada terciptanya pemahaman bersama, penguatan interaksi sosial, serta peningkatan tata kelola organisasi maupun pemerintahan. Ketiadaan komunikasi yang efektif berpotensi menimbulkan hambatan koordinasi antarindividu maupun antarinstansi, yang pada gilirannya dapat mengurangi efektivitas implementasi kebijakan serta kualitas pelayanan publik.


Komunikasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah merupakan fondasi penting bagi terselenggaranya pemerintahan yang sinergis, terkoordinasi, dan berorientasi pada pelayanan publik yang optimal. Tanpa adanya komunikasi yang baik, kebijakan yang dirumuskan di tingkat pusat tidak akan mampu diterjemahkan secara konsisten di daerah, sehingga pelaksanaannya kerap menyimpang dari tujuan awal. Pada prinsipnya, komunikasi bukan hanya menyangkut penyampaian pesan, tetapi juga pemahaman, penerimaan, dan pengimplementasian instruksi secara seragam oleh seluruh lapisan birokrasi.Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa komunikasi pusat dan daerah masih jauh dari ideal. Disharmoni komunikasi yang terjadi sering kali menghambat kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kesalahpahaman antara pejabat pusat dan daerah, tetapi juga memunculkan tumpang tindih kebijakan serta ketidakselarasan pelaksanaan program di berbagai wilayah.


 Akibatnya, efektivitas pemerintahan menurun dan masyarakat sebagai penerima layanan publik justru dirugikan.Penyebab Disharmoni Komunikasi Salah satu penyebab utama disharmoni komunikasi adalah perbedaan persepsi dan kepentingan politik. Instruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sering kali tidak diterima secara utuh oleh pemerintah daerah atau bahkan ditafsirkan secara berbeda. Hal ini menyebabkan kebijakan yang seharusnya bersifat nasional berubah menjadi beragam implementasi di tingkat daerah. Misalnya, dalam konteks pandemi Covid-19, perbedaan tafsir kebijakan antara pusat dan daerah menimbulkan kebingungan publik dalam mengikuti protokol kesehatan, yang pada akhirnya melemahkan efektivitas kebijakan itu sendiri.


Selain faktor persepsi, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di bidang komunikasi juga memperburuk masalah. Tidak semua daerah memiliki aparatur dengan kemampuan yang memadai untuk memahami, menyampaikan, dan mengimplementasikan instruksi dari pusat. Di sisi lain, belum optimalnya pemanfaatan teknologi informasi sebagai media komunikasi menyebabkan pesan dari pusat tidak sampai secara utuh hingga ke tingkat implementator kebijakan di lapangan.


Ego sektoral dan bias politik turut menjadi penghambat serius. Pejabat pusat maupun daerah sering kali lebih mementingkan kepentingan institusional atau afiliasi politiknya dibandingkan tujuan bersama. Persaingan politik antara pemerintah pusat dengan kepala daerah menyebabkan komunikasi menjadi tidak objektif dan penuh kepentingan. Instruksi yang seharusnya netral demi kepentingan rakyat justru diseleksi berdasarkan kalkulasi politik. Situasi ini diperburuk dengan intervensi partai politik dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga sinkronisasi pusat-daerah semakin sulit dicapai.


Hambatan lainnya adalah lemahnya regulasi yang mengatur mekanisme komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Instruksi dari pusat sering kali tidak disertai dengan pedoman teknis yang jelas, sehingga membuka ruang bagi interpretasi berbeda. Akibatnya, kebijakan nasional diimplementasikan dengan variasi yang tidak seragam di daerah. Inkonsistensi regulasi bahkan berujung pada tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang melemahkan efektivitas implementasi program.Dampak Disharmoni Komunikasi. 


Disharmoni komunikasi pusat dan daerah berdampak langsung pada menurunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Lambannya proses pengambilan keputusan, pelaksanaan kebijakan yang tidak konsisten, serta kebingungan publik akibat informasi yang berbeda-beda adalah sebagian dari konsekuensi buruknya komunikasi. Dalam konteks krisis, seperti pandemi Covid-19, dampak disharmoni komunikasi terasa lebih nyata. Masyarakat menerima informasi yang tidak konsisten, bahkan kontradiktif, terkait aturan pembatasan sosial, protokol kesehatan, hingga kebijakan vaksinasi. Kebingungan ini bukan hanya menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat karena protokol kesehatan tidak dijalankan secara disiplin.


Selain itu, disharmoni komunikasi juga berpotensi memicu konflik kebijakan di lapangan. Program pusat yang tidak diadopsi sepenuhnya oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan resistensi atau penolakan dari masyarakat lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan sekadar aspek teknis, melainkan persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi disharmoni komunikasi, dibutuhkan langkah strategis yang melibatkan semua level pemerintahan secara partisipatif dan kolaboratif. Pertama, diperlukan penguatan kapasitas sumber daya manusia di bidang komunikasi pemerintahan. Aparatur di daerah perlu dibekali dengan kemampuan memahami, menerjemahkan, dan menyampaikan kebijakan pusat secara tepat.


Kedua, pemanfaatan teknologi informasi harus dioptimalkan. Sistem komunikasi yang terintegrasi antara pusat dan daerah akan meminimalisir distorsi pesan dan mempercepat alur informasi. Dengan teknologi digital, kebijakan dapat disosialisasikan secara lebih transparan, akurat, dan seragam ke seluruh daerah.


Ketiga, perlu adanya mekanisme koordinasi komunikasi yang jelas, konsisten, dan berkelanjutan. Forum koordinasi rutin antara pejabat pusat dan daerah dapat menjadi sarana untuk menyamakan persepsi sekaligus menyelesaikan perbedaan pandangan sebelum kebijakan diterapkan.


Keempat, budaya birokrasi yang terbuka dan kolaboratif harus dibangun. Pemerintah pusat tidak bisa memaksakan kebijakan secara top-down tanpa memperhatikan kondisi daerah, sementara pemerintah daerah juga harus mampu menyeimbangkan kepentingan lokal dengan agenda nasional.


Dengan demikian, disharmoni komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah bukan hanya persoalan teknis, melainkan masalah klasik birokrasi yang menyangkut tata kelola pemerintahan secara menyeluruh. Jika tidak segera diatasi, disharmoni ini akan terus menghambat efektivitas kebijakan, menurunkan kepercayaan masyarakat, dan menggerus legitimasi pemerintah. Oleh karena itu, pembenahan regulasi, penguatan koordinasi, serta optimalisasi komunikasi publik menjadi kebutuhan mendesak demi terciptanya pemerintahan yang lebih efektif, transparan, dan akuntabel.

(*Red) 


Tags: