HMI MENJAWAB : KRISIS MULTIDIMENSI - ANCAMAN RESESI & KESEJAHTERAAN RAKYAT DI TENGAH GEMPURAN ISU GLOBAL

 

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tengah menghadapi guncangan besar yang tidak hanya berdampak pada satu bidang saja, melainkan melanda berbagai sektor secara bersamaan. Krisis multidimensi ini muncul sebagai akibat dari rangkaian peristiwa global—mulai dari pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya usai, konflik geopolitik yang berkepanjangan, hingga krisis iklim dan disrupsi teknologi yang terus mempercepat perubahan sosial dan ekonomi. Dalam konteks ini, ancaman resesi global menjadi bayangan gelap yang mengintai, dengan potensi dampak serius terhadap kesejahteraan rakyat, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.


Secara ekonomi, tanda-tanda resesi sudah mulai terlihat jelas. Kebijakan moneter ketat di negara maju, terutama kenaikan suku bunga oleh bank sentral besar, menyebabkan arus modal keluar dari negara berkembang. Kondisi ini melemahkan nilai tukar mata uang dan mendorong inflasi yang semakin tinggi. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, menggerus daya beli masyarakat yang sudah terbebani oleh ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, investasi melemah karena pelaku pasar mengantisipasi ketidakpastian dan risiko yang semakin besar. Kondisi ini membahayakan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi yang selama ini menjadi harapan rakyat.


Namun, krisis ini bukan hanya soal angka-angka makroekonomi. Pada tataran sosial, dampaknya jauh lebih nyata dan menyakitkan. Kesejahteraan rakyat, terutama kelompok rentan, tergerus oleh kenaikan biaya hidup yang tak terhindarkan. Pengangguran dan kemiskinan meningkat, sementara akses masyarakat terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan semakin terbatas. Kesenjangan sosial pun melebar, memperkuat jurang ketidakadilan yang selama ini sudah ada. Krisis ekonomi yang terjadi memperlihatkan bahwa pembangunan yang tidak inklusif akan memperdalam luka sosial, mengancam stabilitas dan kohesi sosial.


Selain itu, krisis iklim menambah beban yang harus dihadapi. Gagal panen akibat perubahan iklim merusak ketahanan pangan, sementara bencana alam yang makin sering terjadi memperparah kerentanan masyarakat. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan untuk mendukung pertumbuhan jangka pendek justru menimbulkan masalah jangka panjang, mempercepat degradasi lingkungan dan mempersulit upaya pemulihan.


Teknologi yang berkembang pesat seharusnya menjadi solusi, namun kenyataannya juga memunculkan tantangan tersendiri. Digitalisasi yang tidak merata memperlebar kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antara yang mampu mengakses teknologi dan yang tidak. Otomatisasi menggantikan banyak pekerjaan konvensional, memaksa masyarakat beradaptasi cepat di tengah ketidaksiapan sumber daya manusia. Jika tidak ditangani dengan tepat, transformasi digital bisa menjadi penyebab baru ketidakadilan sosial.


Melihat kompleksitas ini, jelas bahwa krisis yang kita hadapi adalah multidimensi dan saling terkait. Mengatasi resesi ekonomi saja tanpa memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan teknologi tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Bahkan, kebijakan yang parsial bisa menimbulkan efek negatif yang tidak diinginkan.


Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan haruslah holistik dan terintegrasi. Pertama, reformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan menjadi kunci. Negara perlu mendorong diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas yang rentan terhadap guncangan pasar global, serta memperkuat sektor usaha mikro, kecil, dan menengah melalui akses pembiayaan dan digitalisasi. Reformasi perpajakan yang adil juga diperlukan untuk membiayai program-program sosial tanpa membebani masyarakat bawah.


Kedua, investasi besar pada kesejahteraan sosial harus diprioritaskan. Perluasan jaminan sosial, peningkatan akses layanan kesehatan dan pendidikan, serta penguatan program padat karya dapat membantu meringankan beban masyarakat terdampak krisis. Ketiga, transisi energi menuju sumber yang lebih ramah lingkungan serta adaptasi terhadap perubahan iklim harus diperkuat, agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.


Keempat, transformasi digital harus diarahkan agar inklusif dan merata. Pelatihan literasi digital dan pembangunan infrastruktur digital di daerah terpencil harus menjadi prioritas, sehingga tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal dalam arus perubahan teknologi.


Terakhir, tata kelola pemerintahan yang transparan dan responsif sangat penting untuk memastikan semua kebijakan dan program berjalan efektif dan tepat sasaran. Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta dalam pengambilan keputusan akan memperkuat akuntabilitas dan legitimasi kebijakan.


Krisis multidimensi yang dihadapi saat ini bukanlah masalah yang sederhana dan mudah diselesaikan. Namun, dengan pendekatan yang sistematis, berkelanjutan, dan inklusif, kita masih memiliki peluang untuk melewati tantangan ini dan membangun masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.


Oleh RK. Septian.

(Senin, 15 Sept. 2025)