Siklus Kekerasan UIN STS Jambi: Ketika Izin Rektor pun Tak Mampu Hentikan Darah


Kerisjambi.id – Sebuah janji keamanan yang berujung pengkhianatan. Sore itu, di bawah pengawalan ketat keamanan kampus, sejumlah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersiap mengibarkan bendera. Agenda yang seharusnya dimulai pukul 16:00 wib sesuai janji rektor UIN STS Jambi untuk mendapatkan izin, baru mendapat izin dari pihak kampus pukul 17:15 wib. Dan di perkuat dengan izin dari DEMA UIN STS Jambi. Namun, hitungan menit itu berubah menjadi adegan kekerasan yang brutal dan tak terduga.

Pukulan, tendangan, dan penghinaan mendarat. Darah tumpah di pelataran UIN Sultan Thaha Saifuddin (STS) Jambi. Kekerasan fisik terhadap kader HMI tak cukup, karena atribut dan bendera organisasi pun turut diinjak-injak. Salah satu korban, Sutrisno Bayu Mursalin, bahkan mengalami luka serius di wajah dan harus dijahit. Insiden pada Rabu sore itu, kini menjadi noda paling pekat di lingkungan kampus yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Islami dan intelektual.

Ketua Umum HMI Cabang Jambi, Tesa Mardian, mengecam keras insiden ini. Ia mengungkapkan, kejadian ini bukan yang pertama kali. "Ini sudah menjadi ritual kekerasan tahunan di kampus ini. Seolah-olah kekerasan sudah dianggap hal yang biasa dan selalu terulang," tegas Tesa dengan nada penuh amarah.

Menurutnya, pihak rektorat tidak bisa lagi lari dari tanggung jawab. Persetujuan dan pengawalan yang diberikan, namun berujung pada pengeroyokan, adalah bukti nyata bahwa ada yang salah dalam sistem keamanan dan jaminan perlindungan di kampus.

HMI Cabang Jambi menuntut bukan hanya pengusutan pelaku, tapi juga penjelasan atas kegagalan pihak kampus. "Kami tidak akan menerima alasan apa pun. Hukum harus ditegakkan. Kami menuntut aparat segera tangkap pelaku. Kami pastikan akan mengawal kasus ini sampai tuntas".

"Selain itu kami juga menantang Rektor UIN Jambi untuk menjelaskan, mengapa janji mereka tidak ditepati? Mengapa kekerasan selalu berulang di kampus ini? dan tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan persoalan ini. Jika rektor abai, kami akan anggap integritas pimpinan kampus ini telah runtuh," desak Tesa.

Lebih lanjut, ia meminta pihak kampus memberikan sanksi tegas kepada para pelaku, hingga pemecatan dari status mahasiswa. "Tindakan mereka menginjak-injak simbol HMI adalah penghinaan yang tak bisa dimaafkan. Jangan biarkan kampus menjadi tempat di mana kekerasan menjadi budaya. Kompetisi di kampus harusnya tentang ide dan prestasi, bukan tentang siapa yang paling kuat mengeroyok," pungkasnya.

Hingga kini, pihak kepolisian telah menerima laporan terkait kasus ini. Namun, sorotan publik kini lebih dalam dari sekadar persoalan hukum, melainkan mempertanyakan kembali komitmen pihak kampus untuk menjadikan UIN STS Jambi sebagai tempat yang aman dan beradab bagi seluruh mahasiswanya. Akankah siklus kekerasan ini terhenti, atau akan kembali terulang pada tahun-tahun berikutnya?