Mampukah Bonus Demografi Menjawab Tantangan Krisis Regenerasi Petani ?

Kerisjambi.id
Editor -



Oleh Fil Azhari Alfath pengurus LITBANG MISETA FP UNJA


Bung Karno pernah berkata "Hidup matinya sebuah negara, ada di tangan sektor pertanian negara tersebut". Hal tersebut ternyata memang bukan isapan jempol belaka, seperti diketahui bahwa Indonesia merupakan agraris, negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dimana sektor pertanian menjadi salah satu sektor penopang untuk meningkatkan perekonomian negara. Pada dasarnya Indonesia dapat dengan mudah untuk memperoleh hasil pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri tanpa harus melakukan kebijakan impor dari luar negeri.

Sebenarnya sudah tidak diragukan lagi bahwa negara Indonesia telah unggul dari segi sektor pertaniannya, akan tetapi sumber daya alam yang melimpah itu tidak seimbang dengan sumberdaya manusia yang dalam hal ini adalah petani sebagai pengelola sumberdaya alam tersebut. Hal ini diindikasikan melalui fenomena saat ini dimana sedikit sekali kita mendengar anak muda yang bercita cita ingin menjadi petani, bahkan anak dari seorang petani pun sangat sedikit yang ingin melanjutkan atau mengembangkan profesi yang sudah di jalani oleh orang tuanya, mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan di sektor jasa dan sektor lapangan perkerjaan lainnya yang lebih menjanjikan bagi mereka.

Perihal ini Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia mengatakan, pada tahun 1976 proporsi pekerja Indonesia di sektor pertanian mencapai 65,8 persen. Namun, di tahun 2019 turun signifikan menjadi hanya 28 persen. Sedangkan, dari sektor jasa yang proporsi pada 1976 sebesar 23,57 persen menjadi sebesar 48,91 persen di tahun 2019. "Apabila kita menggunakan tren ini dalam perhitungan linear, tentu saja hasilnya cukup mencengangkan, mungkin di 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal. Mudah-mudahan hal ini bisa kita lawan" ujarnya dalam webinar Bappenas, dilansir KOMPAS.com Selasa (23/3/2021).

Dalam fenomena dimana terdapat indikasi bahwa kemungkinan akan terjadinya krisis regenerasi petani, dalam hal ini terkait bonus demografi yang telah kita rasakan dari tahun 2012 hingga puncaknya tahun 2030 hingga 2040 kedepan, terdapat sebuah tanda tanya apakah kita dapat memanfaatkan fenomena ini sebagai titik balik atau momentum awal untuk regenerasi petani muda di Indonesia ?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani per tahun 2019 mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang. Kemudian, sekitar 30,4 juta orang atau 91% berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Kondisi ini kian diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang.

Dalam menyikapi fenomena ini MISETA FP UNJA mengharapkan adanya kerjasama lintas sektor dan kepekaan dari setiap regulator untuk lebih memperhatikan dan membangun sektor pertanian, khususnya untuk kesejahteraan petani. Lembaga legislatif, eksekutif, dan khususnya bagi pihak yang paling berwenang diranah ini yaitu kementerian pertanian, harus bisa membersihkan paradigma negatif masyarakat tentang petani, yang dimana seperti diketahui bahwa terdapat paradigma bahwa menjadi petani tidak terlalu menjaminan kebutuhan hidup mereka bisa tercukupi.

Lembaga legislatif yang memiliki tugas untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) serta mengajukan RUU baru yang memiliki kaitan dengan otonomi daerah serta bertugas dalam mengawasi pelaksanaanya, harus menciptakan kebijakan atau terobosan baru khususnya pada sektor pertanian, terutama untuk kesejahteraan petani. Persoalan yang kita temui dilapangan hari ini bahwa banyak petani yang mengeluh ketika musim panen seketika harga dari barang hasil panen mereka menurun, sedangkan modal yang dibutuhkan petani pada tahap pembelian bibit, pupuk untuk nutrisi tanaman, dan biaya perawatannya tidak sebanding.

Selain itu, lembaga eksekutif dimana sebagai lembaga yang memegang kekuasaan menerapkan atau melaksanakan undang-undang tersebut, diharapkan mempunyai perhatian yang lebih terhadap kesejahteraan petani, selalu mengawal tata tertib dan kebijakan yang baik untuk sektor pertanian serta mampu menerapkan kebijakan tersebut dengan semaksimal mungkin. Negera kita seharusnya ekspor dalam bidang hasil pertaniannya bukan malah impor saat panen raya tiba. Kemudian pola pikir yang tidak pernah memuliakan profesi petani harus dirubah, dan ideologi pemahaman prinsip tentang pertanian dikalangan masyarakat harus selalu disosialisasikan. Kaitannya adalah bagaimana bonus demografi harus bisa dimanfaatkan dengan sebaik mungkin agar tidak menjadi Boomerang bagi kita, momen ini seharusnya memang menjadi sebuah bonus untuk regenerasi petani muda di Indonesia.

Untuk menganalisis urain diatas, maka pada tanggal 6-8 Maret 2022 MISETA FP UNJA melakukan survei melalui google form sebagai pengambilan data tentang sektor lapangan perkerjaan yang paling diminati oleh mahasiswa regional provinsi Jambi. Dari 71 sampel yang di ambil tersebut menunjukkan 46,5% memilih sektor lapangan perkerjaan sektor pertanian, 33,8% sektor pemerintahan, 11,3% sektor jasa, 7% sektor pertambangan, dan 1,4% untuk sektor lapangan perkerjaan sektor manufaktur. Hasil ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi harapan bagi mahasiswa, akan tetapi mereka yang memilih dan memiliki minat terhadap lapangan perkerjaan sektor pertanian masih bingung apa yang akan mereka lakukan untuk memulai, dikarenakan belum adanya sosok figur atau role model yang bisa mereka jadikan acuan untuk belajar.

Selanjutnya adalah sektor pemerintahan yang masih menjadi pilihan bagi kalangan mahasiswa memiliki landasan yang jelas, bidang ini selalu hangat dibincangkan dan pandangan terhadap sektor ini lebih agak cerah dibandingkan sektor lapangan perkerjaan yang lainnya. Sampel ini menunjukkan bahwa mahasiswa fakultas pertanian pun masih ada yang lebih meminati lapangan perkerjaan sektor pemerintahan, padahal mereka lebih memiliki kapasitas pada sektor pertanian.

Dengan adanya artikel ini yang mengangkat isu mampukah Bonus Demografi menjawab tantangan krisis regenerasi petani. MISETA FP UNJA sangat berharap para Stakeholder mampu memanfaatkan momen ini menjadi sebuah landasan untuk menstimulasi regenerasi petani di Indonesia untuk menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045. Sebagai Langkah awal, mari kita mengubah pola pikir kita untuk lebih menghargai profesi sebagai petani, sebagai generasi muda yang berpendidikan, seharusnya kita bisa mengubah sterotipe terhadap pertanian yang ada dikalangan masyarakat melalui ide-ide kreatif dan inovatif yang dapat memajukan pertanian indonesia. 

Untuk itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas, MISETA FP UNJA mengharapkan adanya sebuah pemikiran sebagai tindak lanjut dari keresahan yang telah dipaparkan dimana nantinya akan sama sama didiskusikan dalam forum dialog intelektual kampus (DIALEKTIKA) dengan tema Mampukah Bonus Demografi Menjawab Tantangan Krisis Regenerasi Petani ?